Dulu saya pernah nulis blogpost tentang pernikahan impian
gara-gara saya pengin ikutan kuis di salah satu penerbit buku. Ya, dulu saya
saking joblessnya kayaknya jadi quiz hunter dan alhamdulillah ya selalu dapat
deh entah juara berapa.
Waktu itu saya menulis dalam kondisi saya yang baru
terbuka pemikirannya untuk menikah. Awal 2015 di kala tesis saya mangkrak dan
nggak dapat gelontoran uang dari beasiswa lagi. Sekarang kan saya udah menikah.
Jadi saya pengin membuat tandingannya. Semacam ekspektasi VS realita pernikahan
impian gitu deh.
Baca dulu: My LIttle Zero Waste Party
Mempelai Pria
Sewaktu saya membuat ulisan pernikahan impian itu
sebenarnya calon mempelai prianya udah ada sih. Udah siap diseret ke penghulu
juga.
Budget
Wow. Ini bagian yang paling bikin saya menangis
teriris-iris. Uang yang kami keluarkan lumayan banyak menurut kami sekalipun nggak
ada pesta yang meriah. Uang ini berasal dari HB sama dari orang tua saya. Pengeluaran
terbanyak ada di transportasi dan konsumsi. Bapak motong sapi. Meski pun nggak
ada pesta, kami bagi-bagi makanan ke tetangga dan saudara. HB juga ngasih uang
ke orang tua saya buat bantu-bantu support acara.
Baca juga: Pentingnya Rencana Anggaran Belanja
Lokasi
Pernikahan saya digelar di rumah. Tapi sepertinya saya
yang dulu lebih wise daripada saya yang sekarang deh. Dulu saya sempat
mengiyakan soal resepsi, tapi sekarang sama sekali saya nggak pro dengan
resepsi.
Dulu saya menulis begini: “Salah satu tujuan dari resepsi, kan, mengabarkan berita
baik. Agar kelak nggak ada lagi fitnah kalo tiba-tiba aku nggendong anak dengan
perut buncit jalan di pasar. Selain itu, resepsi menurut keluargaku adalah
sarana silaturahmi. Bener juga, sih.”
Ini untuk kasus saya yang tinggal di kampung ya. Saya belajar
dari pengalaman sepupu yang menikah awal tahun ini, saya jadi sangat nggak
berselera. Padahal kampungnya beda. Di tempat sepupu saya orang-orangnya lebih
maju. Apalagi kalau di kampung saya? Dan ternyata kekhawatiran saya terbukti
jadi kenyataan.
Undangan
Dulu saya berencana untuk membuat undangan dari kertas
daur ulang. Kalau enggak ya dari barang berguna seperti totebag. Nyatanya saya
nggak membuat undangan sama sekali. Saya hanya membuat video pengumuman dan
meminta doa dengan menemui atau menelepon teman-teman dekat dan rekan kerja saya.
Selebihnya saya hanya menyebarkan video via grup whatsapp dan media sosial. Undangan di kampung berupa hantaran makanan Cuma
ke sekitar 150 orang aja. Ke keluaga besar udah diumumin waktu arisan keluarga.
Katering
Di kampung kami, ada
kebiasaan untuk nganter makanan ke tetangga. Yang ini aku pengen pakai besek
dari bambu, yang dibungkus dengan tote bag/goodie bag yang di tulisin semacam
"save the date", "you are invited to...", yang bisa
sekalian jadi pengingat, undangan, juga dipakai belanja ke pasar. Jadi yang
udah dapet ini nggak usah lagi dikasih undangan.
Ini sebenarnya udah dibahas di poin sebelumnya. Realitanya saya nggak pakai besek bambu karena
pengrajinnya udah nggak ada. Jadi pakai besek dari plastik. Sedih sih karena
nasi yang dimasukin ke besek itu kan panas, terus dilapisnya bukan pakai daun
karena daunnya udah untuk bikin kue sama ngebungkus rolade. Tapi ya mau gimana
lagi, orang-orang kampung masih susah diedukasi. Tapi saya nggak pakai kantong
plastik. Saya dan HB membuat totebag. Kami pesan di Toko Mustika di Jalan
Cibadak Bandung.
“... aku nggak akan mengizinkan di
pestaku ada air mineral gelas. Selain nyampah, itu artinya mendukung
komersialisasi air. Lha wong tinggal di kampung, banyak sumur dengan air
melimpah masak air minum aja harus beli. Ngerebus apa susahnya. Nanti kita sewa
orang untuk ngerebus air. Nambah lapangan kerja juga, kan?! Sekalian juga suruh
nyuci gelas, masak iya nyuci gelas aja males.
Ini juga yang bikin saya sedih. Tapi ya lagi-lagi mau gimana lagi. Huhuuuuuuu.
Sedih. Akhirnya pakai air mineral gelas, tapi saya keukeuh nggak minum air
mineral gelas kok sampai hari ini sejak tahun 2012. Sampai-sampai pengantinnya
harus ke belakang ngambil minum dari teko.
Baca juga: Ujian Menjelang Pernikahan
Dekorasi
“Aku nggak mau dekorasi yang
terlalu hebring. Yang simpel elegan gitu aja. Less is most, man! Lagian bisa
ngirit juga (again?). Kalo bisa sih pakai hiasan bunga-bunga segar yang fresh
dan wangi. Jadi enggak nyampah dengan bunga plastik. Meskipun biasanya di
tukang sewa juga udah disediain bunga-bunga plastik. Pengennya sih garden party
tapi takut ujan juga sih.”
Saya susah banget untuk dapat slot bagian rumah yang nggak
dikasih tenda. Akhirnya saya dapat secuil di depan teras di bawah pohon palm
dan mangga. Di sana Cuma saya buat photo booth
sederhana. Niat awalnya pengin bikin tempat untuk akad nikah. Tapi karena emosi
di awal-awal perdebatan tentang konsep pernikahan dengan orang-orang akhirnya
nggak jadi saya buat. Saya juga pada akhirnya memakai bunga artifisial karena
nggak mungkin saya pergi ke kota untuk beli bunga segar. Tapi di sekeliling
tenda ada banyak bunga-bunga alami yang sengaja nggak diusik.
Ohya, saya nggak pakai pelaminan karena saya nggak
suka dipajang.
“ Aku nggak mau pakai pawang.
Apalagi pake acara naro sesaji di perempatan. Kembali lagi kepada makna
pernikahan, gaesss.”
Ini sih parah banget kalau sampai di pernikahan saya ada hal-hal
semacam ini. Pasti akan saya tantang entah sampai kemana pun pemberontakannya. Sekali
pun pelakunya adalah orang yang dituakan sekalipun. Tapi alhamdulillah nggak
ada sama sekali hal-hal seperti ini kecuali mitos-mitos yang diucapkan oleh
orang-orang yang langsung saya sanggah dengan mudah.
“Aku nggak mau pake sound system
yang heboh kayak orang-orang. Cukup setengah dari jumlah sound system mereka
aja. Ngganggu tetangga. Aku ngaca sama diri juga, sih. Aku suka misuh-misuh
kalo ada yang hajatan tapi berisik dan bikin harus teriak-teriak buat ngobrol.”
Ya kalau saya aja nggak suka berada di antara keributan,
kenapa saya harus membuat keributan di rumah saya dan mengganggu tetangga. Awalnya saya nggak mengizinkan adanya
hiburan, tapi Bapak maksa supaya keluarga bisa nyanyi. Yaudah, yang penting
nggak ada biduannya. Nggak boleh ada dangdut juga. Padahal saya dan HB punya
playlist lagu wedding. Tapi ya gimana, kami benar-benar kayak sedih banget di
hari pernikahan. Mana sempat ngurusin lagu wedding. Di pagi hari Cuma ada “From
This Momen”-nya Shania Twain, lagu sejuta umat kalau nikahan. Itupun adik saya
yang muterin. Selebihnya entah lagu apa yang diulang-ulang dengan iringan musik
ke barat dan lagu ke timur. Terserahlah.
Kerusuhan bermula di malam sebelum akad nikah. Jam setengah
sebelas malam orang-orang masih nyanyi-nyanyi di dean teras. Mending bagus,
ngerusak mah iya. Akhirnya jam sebelas saya mute langsung jadi nggak keluar
suaranya karena mereka nggak bisa lagi dibilangin. Kami butuh istirahat dan
suara kalian sangat mengganggu fisik sampai jiwa. So sorry. Belum lagi keluarga
HB baru datang dan mereka butuh istirahat setelah perjalanan jauh.
Saya sendiri nggak suka ada musik terlalu kencang di hajatan. Kalau mau
keras ya di kamar, di tempat karaoke, atau akai headset. Selesai perkara.
Make Up dan Wedding
Dress
Selain fitting baju, aku
juga harus fitting riasan. Mana tau tukang riasnya lebay. Nanti aku dibuatnya
jadi norak-norak bergembira. Nggak lucu banget kalo tiba-tiba aku pundung pas
hari pernikahanku gara-gara riasan. Aku juga nggak mau pake kerudung yang
dililit-lilit. Apalagi kerudung yang cuma mirip penutup muka yang terbuat dari
jaring-jaring saking tipisnya. Aku tetep mau kerudung yang kupakai menutup
dada. Apalagi kalo pake kebaya. Duh, itu boobs bakal kemana-mana kalo nggak
ditutup sempurna. Plus aku nggak mau pake 'punuk unta'. Udah, sederhana aja.
Alhamdulillah saya berhasil pakai kerudung sendiri. Sama sekali
nggak diusik. Riasan juga saya hapus lagi. Dan ditouch up sendiri. Tukang rasnya adalah
guru saya waktu SD, jadi masih bisa agak dipengaruhi. Meski pada akhirnya saya nurut juga sewaktu
disuruh foto pakai baju yang mekar ibarat cinta saya sama HB. Pretlah. LOL. LIat aja betapa timpangnya kostum saya sama HB.
Tapi nggak
apa-apa, setelah dia pulang saya langsung ganti baju pakai kemeja dan celana
panjang,
Acara
“Untuk menghemat waktu, tenaga,
dan uang, aku pengennya acara pagi itu akad nikah, dilanjut siang resepsi.”
Well done, karena nggak ada resepsi.
Aku pengennya diiringi
dengan musik-musik pilihan kami juga instrumental. Biar syahdu gitu. Kalo
sempet juga bikin video perjalanan hidup kedua mempelai. Salah satu lagu
backsoundnya dari The Weepies, Somebody Loved. Jadi di situlah para tamu jadi
kenal dengan pengantin yang dipajang di depan. Sekalian di situ bisa disisipkan
harapan, ucapan terimakasih dan maaf kepada orang tua. Pasti jadi sakral
banget, tuh. Tapi kalo dikonsep seenak mungkin sih bisa aja jadi mencairkan
suasana.
Bagian ini yang nggak kalah bikin sedih.
Huhuuuuuuuu. Sama sekali nggak terlaksana.
Hiburan
No biduanita, no
dangdut. But, dangdut is the music of our country! Silakan dangdutan aja
sendiri di rumah atau di Inul Vista. Di rumah gue nggak boleh ada dangdut.
Apalagi yang nyanyi biduan bohay dengan baju seronok ditambah goyangan aduhai.
Hey, ini perayaan sakral sekali dalam hidupku, masak harus dinodai dengan
syahwat yang diumbar-umbar macam itu, sih.
Ini udah dibahas ya di atas.
Souvenirs
Oh, ya, biar berkesan,
sebenernya aku pengen ada photo booth. Foto bisa sekalian jadi sovenir para
tamu. Jadi nggak usah lagi nyiapin sovenir. Hemat juga, kaaannn?!
Souvenir impian adalah photobooth dan kaktus atau kopi. Kenyataannya
ya lumayanlah, saya ngasih Al Matsurat, plus kalau di kampung saya kan ada
oleh-oleh untuk tamu. Nah, oleh-oleh itu diwadahin totebag berwarna pink yang
ada kartun saya dan HB-nya. Yihaaaaa.
Kalau dibilang saya bahagia enggak atas pernikan ini ya
bahagia. Cuma sedih aja kalau ingat prosesnya. Tapi ya diambil hikmahnya aja. Yang
penting saya dan HB sudah menikah. Yang lain, yang bikin stress itu dianggap
aja nilai tambahan yang membuat kami harus belajar ikhlas.
Jadi ingat waktu nikah, saya memang tidak punya banyak ekspektasi biar gak banyak selisihnya sama orang tua. Alhamdulillah yang saya wanti-wanti bisa terjaga dan gak bertentangan dengan keinginan ortu.
ReplyDeleteManis manis maniiis :D
ReplyDelete