Upacara bendera anak putus sekolah (Foto: Bobo) |
Berdasarkan hasil survey kecil-kecilan yang saya lakukan via aplikasi
whatsapp, ada 36 orang yang merespon terkait upacara bendera. Delapan
orang menyatakan bahwa dia terkadang suka, kadang juga enggak untuk mengikuti
upacara. Ada delapan orang juga yang mengaku bahwa dia senang dengan upacara
bendera di sekolah. Sisanya, 20 responden menyatakan nggak suka upacara
bendera. Lho, kok?
Dulu pernah ada
thread tentang upacara bendera di Kaskus. Di sana diceritakan bahwa tata itu
berarti mengatur, menata, atau menyusun; upa bisa diartikan rangkaian; dan cara
merupakan tindakan, gerakan. Jadi bisa disimpulkan bahwa tata upacara bendera
adalah tindakan yang ditata dengan tertib dan disiplin. Ini merupakan cerminan
dari nilai-nilai budaya bangsa, hal ini merupakan ciri khas Bangsa Indonesia
yang membedakan dengan bangsa lain.
Sebenarnya niat dan
maksud dilakukannya upacara bendera itu sangat luhur. Ini juga diungkapkan oleh
beberapa responden. Ada yang mengakui bahwa upacara bendera membentuk pribadi
yang disiplin, menumbuhkan nasionalisme, melatih ketahanan tubuh, berjemur di
sinar matahari pagi, refresh setelah liburan demi mengawali pekan baru dengan
semangat baru dan juga bisa hafal teks pembukaan UUD 1945, Pancasila, doa
sampai lagu-lagu tanpa harus menghafal secara intens dengan waktu khusus.
Yaiyalah, kalau
enggak ada gunanya juga nggak mungkin kan diamanatkan dalam Inpres No. 14 tahun
1981 dan dilakukan oleh hampir seluruh sekolah.
Upacara bendera bukan sekedar terkait
nasionalisme
Selain untuk
melatih nasionalisme dan (menurut saya) mendramatisasi jerih payah perjuangan
para pahlawan kemerdekaan dan mensyukuri nikmat Tuhan, upacara bendera juga
banyak manfaat lainnya. Manfaat ini ada yang bisa langsung dirasakan bagi siswa
maupun kelak di kemudian hari ketika siswa tersebut sudah memasuki dunia nyata.
Foto: motivatweet |
Upacara bendera
melatih siswa untuk bisa menjadi pemimpin yang mengatur kelompoknya dalam tiap
kelas, bahkan seluruh kelompok siswa jika dia adalah pemimpin upacara. Dalam kesempatan
itu pula ada amanat Pembina upacara yang merupakan waktu bagi pihak sekolah
untuk bisa berbicara langsung kepada para siswa dan semua stakeholder di
sekolah itu. Biasanya juga di ajang upacara bendera ini ditampilkan
prestasi-prestasi siswa sekolah itu yang baru diraih sehingga memunculkan optimisme
dan rasa bangga dan saling memiliki. Selain itu, kegiatan upacara juga melatih
para siswa untuk selalu merasa senasib sepenanggungan dan bekerjasama dalam tim
karena ada giliran sebagai petugas upacara.
Lebih dari
itu, upacara bendera bagi beberapa responden saya juga bermakna ajang curi-curi
pandang. Di masa itu, kebanyakan orang baru merasakan yang namanya cinta
monyet. Katanya, cuma dengan ngeliat topinya aja udah deg-deg ser. LOL. Di saat
upacara kan juga nggak boleh rebut dan gerak-gerak, di situlah mungkin waktunya
bisa lebih menghayati kekaguman terhadap gebetan. Soalnya, ada beberapa sekolah
yang kantin sekolahnya terpisah. Jadi siswa laki-laki dan perempuan jarang ada interaksi
ketika istirahat makan. Di waktu upacara itulah siswa laki-laki dan perempuan
bisa saling curi-curi pandang. Setelah itu mungkin yang terjadi adalah saling
titip salam, dan dilanjutkan dengan janjian di sudut sekolah disaksikan oleh barisan semut merah.
Saya sendiri
merasakan pentingnya tubuh dilatih setidaknya untuk berdiri selama setengah jam
di bawah terik matahari. Ketika latihan dasar di PMR aja itu udah sangat
bermanfaat. Apalagi waktu kuliah, jadi mahasiswa baru dan kenal dengan yang
namanya ‘Sabtu Bersih’ dan harus udah ada di kampus jam enam waktu pertanian. Ini
berarti mundur satu jam, alias harus udah ada di kampus jam lima. Setelah itu
lari-lari dan disuruh baris sama senior. Belum lagi ada Program Pengenalan
Wawasan Keorganisasian Kampus (PPWKK) yang ada materi ruang dan materi lapang. Dan
itu udah kebayanglah seperti apa kegiatannya. Dan puncaknya adalah Kemah Bakti
Mahasiswa (KBM) yang merupakan akhir dari penderitaan fisik dan mental selama
setahun.
Ketahanan untuk
mengikuti rangkaian proses sebagai mahasiswa baru itu nggak bisa lepas dari
peran luhur si upacara bendera yang udah melatih kita at least setengah jam
setiap awal peKan.
Saya sendiri waktu
kecil suka banget kalo upacara bendera. Di situlah ajang saya tampil dengan
penuh percaya diri. Jadi langganan sebagai petugas upacara pun nggak masalah. Toh
saya juga emang udah hafal teks preambule UUD, bisa juga jadi dirijen
(director), tapi yang paling jarang adalah jadi pemimpin upacara -____-
Memasuki masa SMP dan
SMA, nampaknya upacara bendera digelar dengan durasi yang lebih lama. Kalau nggak
salah sampai jam 08.50 WIB baru masuk kelas. Nah, di situ saya mulai bosan. Hingga
akhirnya waktu SMA dikasih mandat jadi pejabat PMR akhirnya bisa jaga ruang
UKS. Di sana bisa sambil ngerjain tugas, baca buku, atau sekedar ngadem dan
kalau ada temannya paling juga berghibah.
Ternyata dari
responden survey saya ada juga dua orang yang suka jadi petugas kesehatan. Ada yang
jaga ruang UKS, ada juga yang jaga di tempat teduh di belakang barisan pasukan
upacara. Jadi ternyata dimana-mana juga sama, ya.
Kenapa nggak suka upacara bendera?
Dari 36 responden
yang terdiri dari berbagai kalangan profesi dan usia, yang suka dengan kegiatan
upacara bendera hanya delapan orang. Mereka semua adalah golongan ibu-ibu. Mereka
mungkin juga bisa menumbuhkan mindset bahwa upacara bendera itu penting kepada
keluarganya.
Nah, yang jadi
masalah adalah lebih dari 50% responden nggak suka upacara. Alasannya klasik, cuma
karena capek dan panas kebanyakan. Belum lagi 75% dari mereka adalah laki-laki.
Laki-laki takut capek dan panas itu laki-laki macam apa ya? Mungkinkah ini juga
yang berdampak pada kinerja orang-orang Indonesia yang dalam usia produktifnya
jadi kurang produktif sebagaimana seharusnya? Hmm.
Secara fisik, berdiri
dalam barisan upacara bendera memang mampu melatih ketahanan beberapa orang. Terlebih
anak jaman sekarang yang mainnya udah bukan lagi gobag sodor atau teplek, tapi
lebih banyak indoor dan sedikit pergerakan. Ada juga manfaat bagi kulit agar
terpapar sinar matahari pagi yang banyak menfaatnya bagi kesehatan. Tapi ternyata
ketika survey, saya mendapati ada responden yang menderita alergi ketika dia
sudah terpapar sinar matahari selama 15 menit. Kulitnya akan memerah, gatal,
sakit dan baru sembuh setelah tiga hari. Poor her karena dia jadi objek
bullying dan dianggap sok-sokan nggak mau panas-panasan. Duh, dek kita hidup di
dunia yang diversitinya sangat tinggi, lho.
Akhir-akhir ini saya
mulai bisa lagi memaknai sebentuk upacara (entah bendera maupun wisuda) bagi
diri saya pribadi. Seperti juga beberapa responden yang menyatakan kalau dia
merasa ada ‘gemuruh di dadanya’ ketika sang merah putih dikibarkan diiringi
lagu Indonesia Raya. Belum lagi khusyuknya mengheningkan cipta yang juga bikin
baper. Itu semua saya rasakan lagi ketika saya bertahun-tahun enggak pernah
ikut upacara bendera selama jadi mahasiswa. Waktu itu upacara bendera 17
Agustusan, saya terlambat dan saya merasa berdosa. Saya melihat kekhusyukan
barisan-barisan berjas almamater hitam dengan kemeja purih yang sedikit
menyembul. Kerudung-kerudung merah juga menjadi saksi saya yang telat masuk ke
dalam barisan. Saya merasakan hikmatnya (sekedar) mendengarkan lantunan
lagu-lagu wajib dengan desir angin di tengah terik panas matahari.
Keakraban rektor, beberapa dosen dan mahasiswa selepas upacara (Foto: Itera) |
Jumat kemarin saya
juga mengikuti prosesi wisuda pertama di kampus tempat saya mengajar. Ketika kami
bersama-sama berdiri dan melantunkan Indonesia Raya saya merasakan gemuruh itu
di dalam dada. Lalu ketika kami diam dengan iringan lagi dari paduan suara untuk
mengheningkan cipta saya juga merasakan suatu keharuan yang dalam.
Saya pikir, ada yang
salah dengan penyampaian makna upacara bendera selama ini. Ada yang sepertinya
belum bisa dipahami, mungkin karena baru secara implisit saja makna itu
disampaikan. Dari 20 responden yang menyatakan tidak suka upacara bendera, 10
orang merupakan mahasiswa baru yang nyatanya baru sekitar lima bulan nggak ikut
kegiatan upacara bendera. Ada semacam pelunturan hakikat upacara bendera yang
mungkin nggak tepat sasaran atau bahkan nggak tersampaikan kepada para siswa
dan pemuda. Tentang upacara bendera yang diingat hanya capek dan panasnya, ada juga yang rindu upacara bendera dan ketika debar asmara menggelora.
So, reformasi dan
revolusi mental is a must, tapi aplikasinya di lapangan untuk bisa kembali
menanamkan nilai-nilai luhur upacara itu sendiri bisakah dilaksanakan?
Saya sudah lama tidak mengikuti upacara. Terhitung sejak lulus SD sampai saat ini memang tidak hal yang mengharuskan saya mengikuti upacara. Tapi entah mengapa hati saya terenyuh dan mata berkunang tiap kali mendengar lagu kemerdekaan dilantunkan.
ReplyDeleteSalam kenal ya mbak Rinda :)
Emang sekolahnya dimana? Iya, apalagi kalo denger lagunya sambil hening huhu
DeleteBeneran bikin survey dulu buat bikin tulisan.ini? Hebattt..... Menurut aku perubahan upacara bendera itu minimal dilakukan di indoor dan sambil duduk.
ReplyDeleteIyah, aku survey karena penasaran. LOL. Tapi tetap harus ada ya Teh? Yap!
DeleteSalam kenal, Rinda...
DeleteKeren banget ih, bikin riset dulu untuk bikin tulisan ini...
Agak-agak geli gimana gitu baca komen Chika... kalo sambil duduk, kayanya bukan upacara lagi kali ya namanya, tapi rapat hehe
Btw di sini nggak bisa komen pake id wordpress ya?
riset ala ala. karena ini blogspot sepertinya, teh
DeletePerasaan di group intinya cuma lihat gebetan wkwkwkk... Group yg tidak nasionalis tu ya.
ReplyDeleteCuma Mak Lusi yang emang keren sejak masa lalunya. LOL
Deleteedun-sampe-bikin-survey-dulukak
ReplyDeletewarrbyasak!
Belum pernah masuk nominee tapinya. #cry
Deletengacung, sebagai salah satu yg di survey dan menyatakan tidak senang upacara bendera :D
ReplyDeleteAh, kamu mah emang tim mabal :p
DeleteSaya malah kangen upacara bendera, karena dengan mengikuti upacara bendera saya merasa Indonesia banget. Sering jadi petugass upacara juga. Jadinya masuk paskibraka saat ssekolah.
ReplyDeleteWah hebattt! Aku mah kurang tinggi :(
Delete