Saya memang nggak minum kopi susu dan sandwich pakai keripik di kedai-kedai estetik ibu kota. Saya cukup minum kopi hitam ditemani bolu pandan. Tapi dalam beberapa kondisi, Saya dan Satine itu ada beberapa kemiripan. Jika dia hadir di dunia nyata, mungkin Saya akan melamarnya sebagai teman Saya. Saya perkenalkan kepada kalian semua, teman baru Saya: Satine.
Blurb
“I just need a proper date.”
“Saya cuma butuh teman bicara.”
Ada yang bilang hidup yang tertata sempurna ibarat makanan yang dikemas rapi. Semuanya tersusun pada tempatnya, cantik. Lalu, tanpa disangka terjadilah satu peristiwa, kemasan itu tersenggol, dan isinya berserakan di lantai. Hidup yang selama ini dikenal Satine runtuh saat ia menyadari dirinya tidak lebih dari sekadar perempuan kesepian. Dalam kenekatan seseorang yang selalu bisa menyelesaikan apa pun dalam hidupnya, Satine menemukan solusi yang mempertemukannya dengan lelaki asing, Ash. Hubungan yang mereka mulai dengan keterikatan kontrak di atas kertas dan harus tunduk pada aturan, ternyata tunduk pada gejolak perasaan mereka sendiri. Lalu terjadilah peristiwa demi peristiwa yang menghadirkan pertanyaan: “Jika semua hal di muka bumi ini diatur oleh takdir, apakah pertemuan dan perpisahan juga harus takluk pada takdir?”
***
Membaca Novel X Menonton Film
"Tempat paling aman di semesta ini adalah dalam pelukan," kata Ash.
Totally agree!
Membaca novel ini bukan seperti membaca dalam makna denotasi. Sebab Ash dan Satine bersahut-sahutan muncul sebagai adegan demi adegan film dengan iringan prolog. Mengingatkan Saya dengan Twivortiare, novel yang karakternya ‘hidup’ bahkan bisa diajak berinteraksi.
Setidaknya, kesan itu yang sejak awal ada di pikiran Saya sewaktu membaca novel Satine. Novel besutan Ika Natassa yang sudah Saya nantikan sejak lama, juga Saya siapkan budgetnya sedikit demi sedikit agar bisa ikut pre-ordernya. Sama seperti gimana excitednya Saya dengan launching novel-novel karya Ika Natassa yang lainnya. Setidaknya, walau Saya dapat bag charm yang kondisinya rusak patah, PO kali ini tidak sama seperti lebih dari satu dekade silam yang harus bolos kelas dan menyiapkan token internet banking. Thank you, tech!
Kembali ke pendapat Saya tadi, membaca novel ini adalah seperti menonton adegan film. Bedanya, rasanya terlalu dekat, nyata, tidak seperti adegan film yang nampak jauh di layar seberang sana. Seperti nostalgia, ya, jauh, padahal dekat. Juga tentang bagaimana masa kecilmu yang mepengaruhi bagaimana kamu hari ini. bagaimana trauma di masa lalu, tertinggal dan membelenggu, menghantui sampai hari ini. Setidaknya itu yang terjadi pada Ash Risjad. Ah, kenapa harus Risjad lagi? Hubungannya apa dengan Risjad yang sudah-sudah? Entahlah, ketika menutup halaman terakhir Saya merasa novel ini perlu sekuel.
Sama seperti di buku-bukunya yang lain, Ika Natassa menggambarkan tokoh sebagai kaum sukses ibukota tapi budak korporat. Membuat bosan beberapa pembaca, tapi tidak dengan Saya. Terlalu good to be true, kata beberapa orang, tapi setidaknya tidak seajaib kebetulan-kebetulan yang terjadi di novel ini. Misalnya, Aksara yang dipindahkan dari Singapura ke Indonesia. Atau pertemuan yang sangat tiba-tiba di New York. Ya, mungkin saja itu takdir, kan? Namanya juga jodoh, maut, rejeki semuanya nggak ada yang tahu kecuali Tuhan. Apalagi di usia 30-an akhir, yakan?
Kesamaan Saya yang pertama dengan Satine adalah tentang usia. Meski Saya tidak jumlo seperti dia, tidak mengalami pengalaman asmara yang menyedihkan, tapi Saya pikir Saya dan Satine perlu hang out bareng dan lebih baik kami membicarakan memori anak 90-an. Mungkin ini bisa sedikit menghibur hidupnya yang nampak kaku dan penuh dengan target ini-itu serta capaian-capaian yang masih jauh dari gapaian tangan Saya. Namun setidaknya, Saya paham bagaimana dunia Satine. Dan Ash. Ah, mungkin juga Aksara.
Climate Change Campaign
Membaca novel ini secara keseluruhan dalam sekali duduk, Saya menemukan sesuatu yang cukup berbeda. Ika Natassa menuliskan tentang Paris Agreement, tentang pemanasan global, dan menurut Saya ini dialog yang diantarkan dengan cukup berani menggunakan kalimat yang paling relevan dan mudah dicerna oleh orang awam. Meski hanya beberapa kalimat, namun bagi Saya sebagai campaigner isu perubahan iklim, ini sangat berarti sekali.
Harapannya pembaca juga aware dengan bagian ini, ya. Bukan hanya kisah asmara, emosi, dan konflik-konflik di dalamnya. Atau jangan-jangan, malah beberapa pembaca hanya fokus pada 'konflik' percintaan saja? Padahal novel ini menguak makna dari kejadian-kejadian yang mungkin kadang terlambat untuk kita sadari.
Baca, deh! Rasanya seperti kamu dapat teman baru.
Judul Buku : Satine
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit : 17 Desember 2024
ISBN : 9786020679983
Jumlah Halaman : 336
Bahasa : Indonesia
Harga : Rp. 99.000
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<