“Hujan yang mengguyur Kota Tapis Berseri sejak Selasa, 9 November 2021 sore mengakibatkan banjir di beberapa lokasi termasuk ruas jalan Protokol Zainal Abidin Pagar Alam.
Jalan yang berada tepat di depan mega proyek Mall Plaza Living tersebut tergenang air banjir mencapai sebetis orang deawasa. Akibatnya puluhan kendaraan mobil dan motor terpaksa putar balik dan tidak berani enyeberang takut kendaraannya mogok.”
Membaca laporan Firman Luqmanulhakim pada Selasa malam di lampost.co seperti mengorek borok yang tak kunjung kering. Perih. Pasalnya, peristiwa ini sudah diramalkan bakal terjadi bahkan sejak proyek tersebut belum dimulai. Pun pada Agustus lalu, lampost.co juga telah memuat berita-berita dengan nada serupa. Namun di dalam salah satu artikel, Pemilik Proyek Plaza Living, PT 328 mengaku belum ada rencana untuk mengeruk saluran drainase yang dinilai berpotensi menimbulkan banjir. Diketahui bahwa kawasan tersebut memang rawan banjir, tapi mudah surut dan air dapat mengalir dengan lancar kesungai.
Dalam kaitannya dengan perencanaan tata ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung sebagian lokasi Living Plaza Lampung masuk kedalam kawasan pendidikan dan pemukiman. Jauh sebelum itu, sempat terjadi penolakan terhadap pembangunan di beberapa lokasi lain di Bandar Lampung. Salah satunya kawasan hutan kota yang juga saat ini beralih fungsi menjadi mall.
Bukan hanya terjadi di Kawasan Mega Proyek Living Plaza, banjir juga dikabarkan menggenangi wilayah sekitar Kedamaian hingga Teluk Betung dan beberapa ruas jalan lainnya. Ini menjadi pengingat bahwa kita tidak punya waktu lagi untuk mengabaikan masalah perubahan iklim.
Beberapa hari sebelum menyambangi Lampung, bencana banjir sudah viral di berbagai media sejak 3 November lalu di Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur dan wilayah Bandung Raya hingga hari ini. Kemudian menyusul pada 4 November lalu juga terjadi banjir bandang di Kota Batu dan Malang akibat deforestasi di Gunung Arjuna sejak 20 tahun silam. Bulan lalu, banjir juga merendam 12 Kecamatan di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat.
Tak hanya banjir, Menurut data BNPB kekeringan pun terjadi dengan 13 kasus di Indonesia selama 2021. Telah terjadi 258 kasus Karhutla, 427 kejadian tanah longsor, 608 kejadian puting beliung, serta 22 gelombang pasan dan abrasi. Bencana ekologis yang bertubi-tubi ini tentu saja meninggalkan dampak yang tidak sedikit, tidak juga mudah bagi kita untuk sembuh secara mental maupun materi.
Konferensi Negara-negara di Dunia untuk Perubahan Iklim
Saat ini tengah berlangsung agenda besar yang akan menentukan masa depan seluruh makhluk hidup di Bumi di Glasgow Skotlandia. Conference Of the Parties (COP) 26 yang berlangsung sejak 31 Oktober hingga 12 November nanti. Pertemuan ini akan memberikan bukti apakah tiap negara serius untuk mencapai target nol emisi dan menghentikan kenaikan suhu bumi kurang dari 1,5 derajat celcius. Sebagaimana dilaporkan oleh IPCC bahwa saat ini peningkatan suhu bumi sudah mencapai 1,2 deajat celcius dan tentunya akan terus meningkat jika aktivitas penghasil emisi tetap berlangsung seperti sekarang ini.
Cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar beberapa hari lalu dan pertanyaan seorang mahasiswa pada salah satu sesi kuliah Manajemen Proyek memaksa Saya untuk menulis ini di tengah kecemasan pribadi terhadap ancaman krisis iklim.
Jika melirik pada data KLHK bahwa Sebagian besar luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) diberikan untuk aktivitas pertambangan. Bukan diperuntukan guna membangun infrastruktur dengan tujuan membuka akses pemerataan pembangunan di setiap wilayah sebagaimana Bu Menteri paparkan. Kita patut skeptis, bisa jadi pembangunan infrastruktur jalan ini justru dimaksudkan untuk memudahkan aktivitas eksploitasi pertambangan.
Padahal, jauh sebelum Ibu Menteri mengetik cuitan yang kemudian menjadi super mega viral hingga trending topic itu, kita semua tahu bahwa Bappenas telah mempunyai konsep pembangunan berkelanjutan dengan zero deforestasi sebagai salah satu instrument utamanya. Jika saja Bu Menteri tidak sekedar fokus pada deforestasi dengan dalih infrastruktur untuk rakyat, mungkin tidak akan terbaca sebagai akun twitter yang sedang di-hack seperti sekarang.
Pohon-pohon yang sedang dibicarakan itu sudah ada jauh sebelum manusia hadir di muka bumi dan melakukan perusakan. Dimulai dari abad ke-19 dengan adanya penambangan batubara hingga berlanjut pada keserakahan-keserakahan berikutnya dengan dalih pembangunan.
Tujuan pembangunan sudah semestinya mengakomodasi kepentingan semua entitas. Sudah saatnya kita berhenti untuk membabat hutan dengan dalih untuk pembangunan jalan meskipun data tidak menunjukkan demikian. Sudah saatnya kita berhenti untuk mencemari udara dan air yang begitu esensial bagi seluruh makhluk. Tentu kita bisa fokus pada pembangunan tanpa harus mendiskriminasi satu pihak, memberikan upah murah dan menggencet nasib kaum lemah.
Jika memang ingin fokus bicara soal pertumbuhan ekonomi, Circular economy sudah dibahas di berbagai belahan dunia sebagai salah satu solusi. Juga masuk dalam gerakan-gerakan rakyat secara mandiri untuk menghidupi dirinya dan masyarakat sekitar dengan asa bahwa masa depan bumi yang dipinjamkan oleh generasi mendatang akan tetap punya masa depan. Berhenti mengeruk sumberdaya tak terbarukan dan fokus intensifitas produksi pertanian daripada ekstensifikasi lahan. Terpenting, membangun sistem dalam rantai pasok produk secara berkelanjutan.
Peran pemerintah dalam memberikan intervensi pasar yang paling penting. Perubahan yang sistematis adalah solusi agar rakyat juga melihat bahwa pemerintah ini punya fungsi. Ketagasan dari pemerintah akan menjadi jaminan pagi para pelaku bisnis untuk turut pula mengubah model bisnis mereka.
Masalah lingkungan sebenarnya sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Jika bis akita telisik lebih dalam, pemerintah telah memasukkan rencana penurunan pembakaran hutan, menurunkan volume sampah, serta mengurangi polusi udara dan laut. Dalam bidang energi pun tak ketinggalan. Pemerintah memasang target bauran energi 2025 hingga 30% untuk batu bara, 25% untuk minyak bumi, 23% untuk energi baru dan terbarukan (EBT), serta 22% untuk gas. Sayangnya, pemerintah kita masih bergulat perkara komitmen dan konsistensi. Bahkan dalam hal berbicara di media massa maupun media sosial.
Solusi Semu
Jika Anda pernah melihat sebuah anekdot yang menceritakan Pak Lurah yang sedang menebangi pohon untuk dibangun gedung serba guna mungkin bisa menemukan korelasinya dengan situasi di dunia nyata. Menurut Pak Lurah, aksi itu tidak akan mungkin membuat wilayahnya menjadi panas karena masing-masing rumah ada AC. Pun dijanjikan tak mungkin banjir karena gorong-gorong sudah dibersihkan. Nyatanya, dari kondisi cuaca yang semula panas terik seketika hujan turun dan terjadilah banjir. Sebagai pemimpin yang hanya bisa playing victim, Pak Lurah menyalahkan gorong-gorong yang kurang lebar. Maka sudah bisa ditebak, program selanjutnya adalah proyek pembangunan gorong-gorong.
Cukup relate dengan kehidupan nyata ya. Hutan dibabat, dibuka untuk lahan tanaman pangan. Di sisi lain, di Pulau Jawa yang konon nyaris tenggelam itu dibangun perumahan-perumahan bagi kaum milenial yang terancam tidak akan pernah bisa punya rumah. Bagaimana jika kemudian punya rumah tapi sumurnya kering, kemudian kelaparan, harga bahan pangan melonjak hingga mencekik leher rakyat dan ending-nya tiba-tiba terjadi banjir bandang?
Indonesia masuk kedalam 10 besar negara penghasil emisi gas rumah kaca. Sebagian besar penyebabnya adalah pembukaan lahan. Padahal suatu model bisnis dikatakan berkelanjutan apabila bisa menghasilkan nilai ekonomi dan di saat yang bersamaan juga membawa dampak positif bagi lingkungan dan sosial. Yang terjadi pada aktvitas pembukaan lahan di Indonesia adalah sebaliknya.
Eksternalitas tidak dimasukkan kedalam perhitungan harga dalam menghasilkan suatu produk. Misalnya dalam pembukaan lahan untuk perkebunan dengan cara membakarnya. Pembakaran hutan adalah opsi paling murah untuk membuka lahan. Namun biaya yang dikeluarkan karena masalah kesehatan, lingkungan, dan perubahan iklim tidak dimasukkan kedalam biaya produksi. Sebagai dampak kebakaran lahan gambut pada 2019 saja, World Bank memperkirakan Indonesia merugi hingga Rp. 73 triliun dan Rp. 221 triliun pada 2015.
Sementara itu, carbon offset juga masih digadang-gadang menjadi solusi untuk menurunkan emisi karbon tanpa mengurangi atau bahkan meniadakan aktivitas yang menghasilkan karbon. Caranya adalah dengan memberikan ruang bagi industri penghasil karbon untuk mendermakan hartanya untuk membiayai gerakan-gerakan pencucian dosa mereka. Dukungan terhadap proyek-proyek energi terbarukan, menanam pohon, hingga menjamin akses pendidikan masyarakat terdampak oleh aktivitas industri tersebut. Tak ubahnya seperti aksi Robin Hood.
Saya lebih senang menyebut ini sebagai greenwashing. Semacam pencucian dosa tadi. Dengan demikian industri besar dan negara penghasil emisi tetap akan beraktivitas seolah di bumi ini tidak terjadi apa-apa, sementara rakyat di belahan bumi lainnya dihadapkan pada kenyataan krisis lingkungan yang merembet hingga krisis ekonomi, krisis kesehatan dan tidak adanya jaminan hidup yang layak dan aman sebagaimana mestinya. Tidak akan pernah tercipta dunia tanpa ada satu orang pun tertinggal seperti cita-cita Sustainable Development Goals.
Carbon offset bukan solusi. Jangan sampai ini muncul pada COP26 sebagai solusi. Kita berkejaran dengan waktu yang mungkin saja kita tidak akan pernah sampai jika tidak ada perubahan sistemik dari pemerintah di setiap negara.
Siapapun Kita Pasti Punya Peranan
Tidak akan ada pertumbuhan ekonomi seindah mimpi di atas bumi yang tak layak huni. Ini menjadi penting karena peningkatan suhu bumi akan memberikan ancaman krisis multi dimensi. Kelaparan, bencana alam, penyakit dan ancaman lain akan terus meningkat lebih dahsyat daripada yang terjadi saat ini.
Peran aktif para pihak tak boleh dilupakan. Termasuk dalam hal monitoring dan evaluasi atas perencanaan, aksi, dan kinerja pemerintah untuk mewujudkan akselerasi penyelesaian karut marut permasalahan mulai dari perizinan pemanfaatan sumberdaya di negara kita.
Pembangunan tanpa merusak memerlukan upaya serius para pihak dalam memastikan adanya keseriusan, keterbukaan, kepastian, efektivitas pengawasan dan penegakan hukum dalam kerangka penatakelolaan sumberdaya. Sebagai rakyat yang berpikir dan peduli, tentu penting pula kita mengawasi pemerintah untuk mengerahkan potensi dan kesempatannya untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masa depan bumi yang berkelanjutan demi mengemban amanat UUD 1945. Demi mewujudkan negara yang memberikan kepastian ruang hidup dan ruang keselamatan bagi rakyatnya.
Penanganan perubahan iklim ini sungguh membutuhkan upaya kolaboratif. Secara pribadi, saya percaya bahwa kita semua bisa menjadi agent of change. Tanpa perlu merasa inferior dengan status ‘aku hanya wong cilik’. Sehingga terkadang timbul keraguan di dalam pikiran kita untuk berbagi. Padahal sesederhana membagikan pengetahuan mungkin akan bisa membuka pikiran orang lain. Jika pun merasa kapasitas diri belum cukup, keterbukaan informasi semakin nyata di depan mata. Tinggal kebijakan kita saja dalam menyerapnya. Seperti slogan marketplace hijau, “mulai aja dulu!”
Perubahan iklim itu nyata, sampai kapan Anda mau menutup mata? Pembangunan yang dilakukan atas dasar niat tulus untuk meningkatkan perekonomian negara dan daerah tidak semestinya meninggalkan kepentingan keselamatan dan ruang hidup rakyat. Bagi Kota Bandar Lampung yang tengah merevisi Perda RTRW-nya, momen ini menandai pentingnya pembahasan perizinan investasi dan pembangunan segala bidang di Kota Bandar Lampung untuk dibahas dan menjadi pertimbangan tersendiri. Jangan sampai kesempatan ini malah menjadi dasar eksploitasi sumber daya dengan dalih pertumbuhan ekonomi lagi. Jangan sampai pembangunan justru melegalkan krisis ekonomi menjadi krisis lingkungan dan menghantui rakyat dengan bencana ekologis yang bertubi-tubi.
Saya sangat setuju dengan pendapat diatas. Mungkin tidak banyak yang menjelaskan kenapa laju kenaikan suhu harus ditahan untuk tidak mencapai 1,5 derajat Celcius. Saya menyarankan untuk teman-teman untuk membaca buku "Bumi yang tak dapat dihuni~David Wallace-Wells" buku tersebut dapat dijadikan salah satu referensi kenapa kita harus segera bergerak untuk mengatasi permasalahan ini. Terima kasih kepada penulis karena telah mengangkat tentang isu ini sendiri. Dan untuk kota bandar Lampung, dari artikel website sebelah. Pada tahun 2014 diketahui ada 22 bukit rusak karena ekploitasi. Hal ini menjadi bukti bahwa Lampung harus segera berbenah untuk segera permasalahan-permasalahan terkait lingkungan. Saya berharap semua aspek bersatu untuk mengatasi masalah ini bersama-sama.
ReplyDeleteSaya setuju dengan pendapat diatas. Kita semua memiliki peran yang penting, mulai dari pemerintah sampai dengan masyarakat harus sadar dan harus bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan pembukaan lahan ini karena seperti yang kita ketahui bahwasannya krisis iklim menjadi suatu hal yang sangat berkaitan erat dengan keberlanjutan bumi ini bagi generasi mendatang di seluruh dunia.
ReplyDeleteDi satu sisi sedih para bukit di eksploitasi untuk tempat wisata, tapi di satu sisi pergerakan ekonomi. Namun, aku setuju semua harus bersinergi menjaga lingkungan. Semua harus bergerak!
ReplyDeletepembangunan merupakan proses perubahan dengan harapan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan. benar, setiap pembangunan pasti tetap memiliki 2 sisi positif dan negatif, usaha kita adalah bagaimana cara agar meminimalisir efek negatif yang dihasilkan dari pembangunan tersebut.
ReplyDeleteDalam setiap perjalanan Pembangunan selalu terikat dengan dua sisi ini ya mbak. Ada positifnya ada juga negatifnya. Tetapi mudah-mudahan kita para penggerak pembangunan bisa memperbanyak sisi posotifnya. Walalupun hal itu perlu perjuangan lebih
ReplyDelete