Bener
banget kalau orang sering bilang bahwa yang dipersiapkan perempuan hamil
kebanyakan hanya sampai akhir trimester tiga. Puncaknya adalah ketika kita
belanja-belanja perlengkapan bayi. Kebanyakan calon ibu dan ayah lupa bahwa ada
masa yang lebih challenging yaitu di trimester keempat. Masa setelah bayi, ibu
dan ayah terlahir ke dunia.
Baca sebelumnya: Drama itu Selalu Ada
Saya
juga begitu. Persiapan trimester keempat saya sebatas optimis bawa botol-botol
kaca, breast pump dan booster ke RS. Saya lupa menyiapkan mental. Padahal ini
yang paling penting yang bahkan masih membekas dan berlangsung hingga kini. H+
satu bulan setelah persalinan.
Baca juga: 5 Hal ini yang Haarus Disiapkan Sebelum Persalinan
Baca juga: 5 Hal ini yang Haarus Disiapkan Sebelum Persalinan
Saya
memang nggak terlalu suka ketemu orang-orang tertentu. Saya memang membatas
diri saya untuk kemungkinan-kemungkinan bad mood hingga bahkan sedih. Tapi saya
juga lupa bahwa RS adalah tempat umum yang bahkan keluarga pasien dari kamar
sebelah juga pengin nengok saya.
Kejengkelan
saya pertama kali dipicu oleh seorang perawat (entah bidan) bertubuh pendek,
berkulit hitam, dan nggak terlalucantik seperti
yang lainnya. Sorry saya body shaming, tapi perawat ini berkali-kali
membuat saya sebal. Awalnya memang air seni di kantung kateter saya masih
berwarna pekat seperti teh. Dokter memang sudah menganjurkan saya untuk minum
sedikit demi sedikit. Dan ketika itu saya sudah minum lumayan banyak jika
diakumulasikan. Semua yang menunggu saya juga tau kalau saya sudah berusaha
minum banyak, dan memang minum saya banyak.
Perawat
itu ujug-ujug nge-judge,”kenapa sih nggak mau minum? Kalau nggak mau minum
bla...bla...bla!” puncaknya aalah pada suatu pagi ketika dia berkali-kali
mengucapkan itu.
Saya
nggak bisa dikasarin begitu. Apalagi kondisi saya masih sangat lemah, sakit,
bahkan efek bius pun masih ada. Dia yang nggak tau sesulit apa usaha saya untuk
sering minum di antara rasa mual, sakit, dan enggak bisa menggerakan tubuh
serta hanya menunggu segalanya dilayani.
“SIAPA
BILANG SAYA NGGAK MAU MINUM, HAH? KAMU LIAT NGGAK SAYA MINUM BERAPA BANYAK?”
Semua
keluarga saya, Ibu, Mamah, dan yang lainnya seperti begitu menyayangi saya. Mereka
bahkan menghibur saya dan nggak pengin membuat saya sedih atau membuat saya
tersinggung. Tapi di suatu sore ada yang nengok saya ...
“Kok
panjangnya cuma 47 cm, Nda? Stunting lho, Nda!” kurang lebih gitu deh.
Ya
Allah hati saya benar-benar hancur anak saya dikatain stunting alias cebol
kurang gizi. FYI perjuangan kehamilan saya itu bertaruh nyawa lho, dan ketika
berat janin sudah melawati batas minimal 2,5 kilogram yaudah saya langsung
dioperasi. Dia tau nggak sih perjuangan itu? Makanya kalau dikasih link blog
itu dibaca, jangan dilewati doang! Terus kalau orang curhat dipahami, jangan malah ditimpali.
Belum habis sakit hati saya dengar judgement stunting, dia sudah mengomentari saya yang memberikan susu formula.
Belum habis sakit hati saya dengar judgement stunting, dia sudah mengomentari saya yang memberikan susu formula.
“Kamu
nggak anti ASI, kan?”
“Tau
nggak sih lambung bayi itu...”
“Kenapa
harus dikasih sufor?”
“Kamu
nggak mau ng-ASI?”
Itu
hati saya hancur berkeping-keping berserakan di jalanan. FYI lagi, bayi saya
nggak bisa ditemui hingga 24 jam dan ASI saya belum bisa keluar meski saya
menderita mastitis. Ya semua itu proses. Kami juga sudah mengupayakan semuanya.
Dan benar aja, ASI saya baru bisa keluar setelah ada di rumah. Saya nggak
mungkin dong membiarkan bayi saya kelaparan selama lima hari?!
Statement-statement lain yang saya terima masih bisa saya abaikan. Saya juga mencoba untuk berdamai karena ya keluarga saya baik semua lho. Nggak ada yang jahat-jahat. Hingga di hari keempat belas, ketika itu saya sudah di rumah orang tua di Kalianda, seorang pengasuh saya dulu datang dan mencoba untuk menemani saya. Saya memang ditinggal di rumah hanya berdua dengan bayi ketika Bapak dan Ibu saya ke sekolah sampai siang. Sehingga dia bermaksud menemani dan membantu. Dari pagi, kuping saya sebenarnya sudah panas dengar omelan khas nenek-nenek kuno yang membandingkan pola pengasuhan dan mekanisme yang saya dan ibu saya jalani dalam merawat bayi. Saya berusaha tahan, hingga siang itu, selepas dia mengambil wudhu untuk sholat dzuhur...
“Sebenarnya
kamu itu mau ngasih ASI atau enggak? Kalau enggak ya enggak usah sekalian. Jelas!”
Lha
apa urusan dia sih?
Bukannya
support saya yang lagi berusaha biar bisa direct breastfeeding dan ASI-nya
lancar malah ngomong kayak gitu. Waktu itu udah hampir jam dua siang, ibu saya
sudah hampir pulang. Sementara sia sholat, saya rebahkan si bayi di kasur lalu
saya tutup pakai kelambu. Saya kabur ke kamar, tutup pintu. Nangis sampai jam
lima.
“Aku nggak mau
ketemu orang-orang! Orang-orang itu jahat!” hanya itu yang saya ingat dan saya
ucapkan ke ibu saya.
Selama
selepas melahirkan, saya belum pernah menangis karena tekanan. Mungkin siang
itu adalah puncaknya. Semua uneg-uneg, segala kelelahan yang saya alami sejak
hamil hingga saat itu rasanya membuncah.
Ibu
langsung meminta Bapak untuk mengantarnya pulang. Malamnya Ibu SMS ke anaknya
supaya dia nggak usah datang lagi menemani saya.
Gara-gara
tangisan yang membuat mata saya nggak bisa melek itu, Ibu dan Bapak langsung memutuskan
bahwa akikah anak kami, cucu pertama mereka sebaiknya dilakukan di rumah kami
aja. Akikah cukup di panti asuhan sesuai rencana kami. Karena kalau di kampung
sudah pasti bakal kayak hajatan dan pastinya terlalu banyak orang yang bikin
saya jadi lebih stress.
Baca juga: Mewarnai untuk Terapi Jiwa
Baca juga: Mewarnai untuk Terapi Jiwa
Mental
menerima ujaran kebencian macam inilah yang belum saya siapkan. Soalnya selama
ini semuanya baik, keluarga saya baik, sahabat saya baik, dokter-dokter juga
sangat supportif dan nggak pernah membuat saya down. That’s why saya bilang ke
orang-orang yang sedang hamil atau yang ingin hamil untuk menyiapkan segalanya,
fisik, mental, materi juga.
Pengalaman
hamil dan melahirkan ini benar-benar menguras segalanya, air mata tapi juga
tawa.
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<