Sebenarnya awalnya saya agak-agak kurang berminat buat cerita tentang pengalaman melahirkan, tapi karena banyak yang minta diceritain jadi ya udah, deh. Sekalian dramanya buat kenang-kenangan, sekali seumur hidup yakan?
Kalau
yang belum tau cerita kehamilan saya, bisa baca dulu link di bawah ini kali,
yah.
Jadi
gara-gara denyut jantung janin sempat hilang itulah seluruh dunia jadi repot,
gupek, dan khawatir. Ya, enggak seluruh dunia juga sih. Soalnya masih ada juga
yang belum paham kondisi saya dan terkesan menyalahkan saya yang selalu berada
di alam ‘goa’. Padahal orang dari circle terdekat dengan keseharian saya. Tapi
yaudah karena saya anaknya legowo dan pemaaf, jadi ya saya yang minta-minta
maaf dan berjanji untuk nggak gitu lagi. Yaiyalah, siapa yang mau sakit lagi?!
Saya
masih juga maju-mundur belum berani untuk operasi. Selain saya yakin ukuran
bayi masih terlalu kecil, saya juga belum mengumpulkan cukup nyali. Namun
sebagai suamiku idolaque yang senantiasa suportif, HB meyakinkan saya untuk go
ahead. Nggak perlu nunggu tanggal cantik, nggak perlu nunggu si bayi besar
dulu, nggak perlu nunggu apa-apa lagi. Cuma perlu nunggu dokternya pulang dari
Semarang aja. Ya ngapain nunggu juga sih karena nyawa adalah taruhannya.
Oke,
akhirnya saya dealing with myself bahwa saya siap operasi pada 23 Juli 2018,
itu di hari Senin, hari lahirnya Nabi Muhammad dan juga pas peringatan Hari
Anak Nasional, mayan kan nanti si bayik bisa makan gratis sepuasnya di
MCDonald! LOLOL.
Booking
Kamar Perawatan
Hari
itu, Jumat sebelum operasi ketika saya berada pada keyakinan penuh, saya
langsung kontak rumah sakit untuk memasttikan segalanya. Pihak rumah sakit
meminta saya untuk mengurus rujukan BPJS dan membooking kamar. Omaigat saya
nggak pernah sesadar itu bahwa untuk bisa melahirkan aja kamarnya musti
dulu-duluan dan bisa aja nggak kebagian. Berasa lagi PO novel barunya Ika
Natasssa yang bikin berderai air mata kalau kehabisan.
Akhirnya
HB minta surat rujukan ke dr. Vera dan
saya janjian dengan dr. Santi di RSIA untuk menyiapkan segala bookingan jam
delapan malam.
Sampai
di RS, ternyata dr. Santi belum datang dan kami, saya dan HB, malah ketemu
dengan seorang perawat yang meminta kami pulang lagi dan datang H-1, padahal ya
kami tau bahwa kedatangan kami di hari itu adalah penting. Saya merasa perawat
tersebut kurang kooperatif, sehingga saya mengajak HB untuk menunggu di poli
kebidanan aja.
Setelah
menunggu agak lama dan dr. Santi belum juga ada kabar, saya menemui petugas
jaga di sana. Petugasnya cantik dan sangat informatif. Asli baik banget
mbaknya, tapi saya lupa namanya. Dia yang membantu kami ngantar kesana sini,
nyari dokumen segala macam malam itu hingga akhirnya fix kamar perawatan untuk
saya officially booked for next wonderful Monday.
Saya
diperiksa seperti biasa, tensi darah, denyut jantung janin, USG, dan awalnya
dr. Santi meminta saya untuk cek HB, tapi lagi-lagi perawat yang kurang
kooperatif tadi yang bilang bahwa cek darahnya H-1 aja. Oke, baique. Setelah
debat agak panjang, kami pulang. Itu kami sampai di rumah sudah sekitar jam
22.30 malam.
Drama
Persiapan Darah
Untuk
menyiapkan operasi, sejak jauh-jauh hari saya sudah diwanti-wanti oleh dokter
dan bidan untuk menyiapkan donatur darah. Saya sudah dapat dua orang yang
semuanya adalah rekan kerja di kampus. Sebenarnya agak-agak worry sih cuma menyiapkan dua
kantong, dan ternyata keduanya lagi nggak bisa donor. Akhirnya kelimpungan
karena di UTDC PMI Cuma ada satu kantong darah A+ dan sesuai dengan
karakteristik darah saya.
Hingga
di hari-H operasi, donatur saya belum ada yang cocok darahnya. Broadcast pencarian
donatur darah pun menyebar kemana. Hingga sampai ke kawan-kawan SMA, kuliah dan
saudara-saudara. Jadwal operasi yang maju dari rencana sebelumnya pun sempat
membuat orang-orang yang tahu jadi khawatir dan mengirimkan pesan support juga
doa. Donatur juga berdatangan hingga ketersediaan darah menjadi berlebih. Kalau nggak salah ada sekitar tujuh donatur waktu itu. HB
yang saat itu menjadi runner sekaligus admin ponsel saya jadi super sibuk
dengan WA, SMS, juga telpon.
Intan dan pendonor yang (maaf) lupa namanya (difoto sepupu yang donor juga) |
Alhamdulillah
drama pencarian darah selesai tepat di saat saya dipanggil menuju ruang operasi
selepas adzan dzuhur berkumandang. Seketika itu juga saya menjadi nervous dan
semuanya jadi nggak jelas rasanya.
Terima kasih
kepada para donatur, para sahabat, kolega, kerabat, kebaikan kalian akan
dibayar oleh Tuhan dengan balasan-balasan yang setimpal. Amiin.
Gentle
Birth di Atas Meja Operasi
Siapa
bilang gentle birth hanya dilalui oleh mereka yang mengalami vaginal birth? Saya
yang memang sudah tau nggak bakalan atau kemungkinan untuk vaginal birthnya
kecil banget ya memang sudah jauh-jauh hari menyiapkan mental untuk operasi. Jadi
segalanya saya upayakan tetap nyaman dan lembut agar apa... agar bahagia!
HB
menemani saya sampai di ruang tunggu untuk masuk ke ruang operasi. Kami dipersilakan
masuk ke dalam ruang transit, di sana ada ruangan untuk bayi. Semua sudah siap,
box bayi lengkap dengan pakaiannya dengan papan tertulis nama saya dan HB. Kok jadi
deg-degan. Heuheu. Sayangnya dia nggak bisa menemani saya. Padahal saya juga
kan pengin kayak Kahiyang Ayu yang ditemani Bobby waktu operasi. LOL.
Saat
pertaruhan nyawa sudah tiba. Saya dibawa masuk oleh seorang perawat perempuan
yang sudah tua. Beliau pandai berkelakar dan membuat saya ketawa. Biar nggak
tegang mungkin, ya. Belakangan saya tau tugasnya adalah mengganti infus,
mempercepat aliran infus, and so on karena kantung infus untuk saya banyak
banget dan dengan cepat dialirkan lalu diganti lagi sesuai dengan perintah
dokter yang nampak tergesa-gesa.
Saya
diperintahkan naik ke meja operasi. Meja yang kecil banget dan bolong di sana
sini. Nggak kebayang kalau Pretty Asmara
yang operasi. Lah buat saya yang beratnya 63 kilogram aja cuma pas doang. LOL.
Perawat
senior tadi mengoper urusan saya kepada perawat lain, kali ini laki-laki. Dan saya
langsung mikir,
“lah ngapain
saya ngejar-ngejar dokter obsgyn perempuan kalau pas hari-H malah dikerumunin
laki-laki begini?” Saya sungguh merasa terjebak.
Perawat
itu mengajak ngobrol saya, tapi pakai Bahasa Sunda. Nggak sekalian pakai
English aja biar saya ngerti sedikit-sedikit, gitu lho. Dia meminta saya
membuka baju, asli dibuka semua itu bajunya kecuali kerudung. Haiya ngapain
kerudung kagak diungkit sementara selongsong lain dilucuti? Saya merasa sungguh
jenaka. Bahaha.
Setelah
bercerita dan bercanda ngalor-ngidul dengan perawat tadi, seorang dokter yang
saya pikir adalah dokter anestesi yang sebelumnya saya tau namanya dari Pakde meminta
saya untuk miring kekiri dan memosisikan diri seperi udang rebus. Ngruwel. Dan lagi-lagi
seorang perawat laki-laki yang nggak kalah friendly dan jenaka sepert
sebelumnya memegangi saya di kiri, tepatnya memeluk, memberikan sugesti positif
sambil saya dipukpuk. Di sebelah kanan, dokter memberikan anestesi sambil
sesekali memberikan perintah untuk tarik napas, rileks, hembuskan, gitu deh. Saya
merasa begitu disayangi oleh mereka. Huhu jadi haru.
Nggak
lama setelah dokter menyuntikan bius, setengah badan saya dari pinggang kebawah
seperti baal. Semuanya dimulai dari kaki yang kesemutan, lalu mati rasa sama
sekali. Dokter memandu kami semua untuk berdoa, lampu dinyalakan dan operasi
dimulai dengan iringan musik instrumental.
Nggak
lama setelah adegan khusyuk nan syahdu itu, mungkin hitungannya nggak sampai
lima menit, ruangan sudah berubah menjadi kafe tempat nggosip sambil minum
latte. Perut saya rasanya ditekan, digelitikin, sedikit perih dan nyeri. Perawat
bolak balik mengambilkan ini-itu, mengganti infus, mempercepat alirannya. Dan semuanya
nampak tegang. Alhamdulillah tensi darah saya yang diukur setiap lima menit di
lengan kanan menunjukkan angka normal di kisaran 100/xx.
Padahal
di awal pengukuran sempat terbaca tensi darah saya 179/xx dan sontak aja
membuat semua tercengang, termasuk saya. Padahal saya merasa biasa aja.
“Kamu
tegang? Rileks aja coba! Bisa nggak?” kata dokter.
“Saya
laper, dokter,” jawab saya serius.
“Ealah,
laper. Tadi puasa dari jam berapa? Makan pakai apa?”
“Dari
jam lima pagi. Saya makan setengah lima pakai telor dadar dua!”
Seisi
ruangan bukannya prihatin malah ketawa. Dan ternyata pengukuran tensi yang tadi
tinggi banget itu Cuma salah baca. Atau mungkin iseng, enggak tau juga sih.
Kembali
lagi ke peristiwa menegangkan, saya Cuma bisa dzikir sambil mikirin target saya
makan sate sama seafood yang enak-enak setelah melahirkan. Nggak perlu waktu
lama, seorang perawat laki-laki menunjukkan seorang bayi kecil mungil, pucat
dengan rambut lebat lagi ngeringkel di gendongannya.
Baca juga: Memasuki Trimester Keempat Tanpa Cukup Persiapan
Baca juga: Memasuki Trimester Keempat Tanpa Cukup Persiapan
Setelah
bayi itu ditunjukkan kesaya, perawat itu segera pergi dan seketika semua jadi
santai. Dokter dan para perawat mulai berkelakar lagi. Musik instrumental
dimatikan padahal saya masih merasakan nyeri dan lemas. Eh, ternyata operasinya
udahan, sodara-sodara.
Saya
dibawa keluar menuju ruang transit untuk diobservasi selama tiga puluh menit. HB
ternyata udah nunggu di luar dan dia udah ketemu jagoannya, udah adzan di
telinganya juga. Tapi baby boynya kemudian diobservasi dan ditaruh di inkubator
selama 24 jam. Saya jadi nggak bisa ketemu lagi deh.
Terharu bacanya ceritanya,, teringat waktu menemani istri saat melahirkan putra pertama kami. Butuh perjuangan.
ReplyDeleteSemoga perjuangan para wanita saat mengandung hingga melahirkan menjadikan amalan terbesar di akhirat kelak. Amin
Duh jadi keinget waktu operasi sesar dulu. Dua Kali lagi ��
ReplyDeletewow sesar saya yang gak marasakan juga sebenarnya merasakan betapa khawatirnya Istri ketika akan di sesar karena VTJ umur kurang 1 bulan tapi berat badanya sudah 4kg, dan jika sebulan lagi bisa 5 Kg, dan gerakan si VTJ sudah gak terlalu kuat, karena mungkin sudah terlalu besar. sempat mendapat pertentangan dari keluarga karena umur yang masih kurang 1 bulan. Tapi dokter berhasil meyakinkan. dan akhirnya lahirnya VTJ melalui sesar dengan berat 4 Kg, sekarang masih 3,5 tahun sudah 28 Kg.
ReplyDeleteMasya Allah kisahnya Mbak Rinda emang kece deh Jadi ibu ya harus tegar dan kuat tetap semangat ya Mbak memberikan ASInya. Membaca kisah ini aku jadi seperti membaca sebuah sinopsis drama begitu ya kisahnya ibu yang melahirkan lewat operasi sama-sama mempertaruhkan nyawa.
ReplyDelete