Selamat Oktoberrrrrr!!!
Sepertinya kedepan saya akan punya tag khusus
untuk postingan dengan tema perdosenan atau perkampusan deh. Ke depan
semakin banyak rasanya hal-hal yang harus dibagi.
Kali ini
saya pengin berbagi tentang materi pada pertemuan ketiga Mobilisasi Dosen
Pakar/Ahli dengan Pak Adi Pancoro untuk sesi proposal penelitian. Kali ini
beliau memaparkan tentang panduan Simlitabmas XI untuk persiapan proposal
penelitian di 2018 mendatang. Yang saya akan ceritakan di sini adalah khusus
untuk kampus binaan seperti kampus saya. Jadi ada beberapa catatan yang memang
hanya berlaku untuk kampus binaan karena kami merupakan PTN Baru yang masih
dibina oleh ITB.
Baca juga: Kenapa dosen harus ngeblog?
Ada beberapa
hal yang menyebkan gagalnya seorang peneliti mendapatkan suatu proyek
penelitian. Diantaranya saya paparkan di bawah ini.
Ketidakmampuan pengusul menulis abstrak yang
baik
Abstrak adalah
koentji, sodara-sodara. Ini juga termasuk ketidakpiawaian pengusul dalam
menulis judul. Judul dan abstrak adalah hal pertama yang akan dilihat sebelum
reviewer membaca keseluruhan isi proposal. Terkadang ada ketidaksesuaian antara
judul dan abstrak sehingga isi rencana penelitian tidak tersampaikan dengan
baik.
Sebagai institusi
dengan status binaan, ada beberapa keterbatasan yaitu secara pribadi pengusul
karena golongan dan gelar. Pengusul dengan gelar master dan belum asisten ahli
baru bisa mengajukan proposal penelitian dengan skema Penelitian Dosen Pemula
(PDP). Setelah itu skema yang dapat diajukan adalah PKPT dengan bekerjasama
dengan institusi lain. Ada pula PDD yang hanya bisa diambil sekali seumur hidup
selama menjalani pendidikan doktoral.
Sering tergiur dengan pagu
Untuk menekan
kegagalan jangan sekali-kali tergiur dengan pagu yang disediakan karena
masing-masing rumpun ilmu punya pagu berbeda. Asalkan dalam tim ada yang punya
kapasitas dalam rumpun ilmu itu.
Jadi ada
yang namanya SBK atau Satuan Biaya Keluaran tiap tahunnya. Ini berbasis output.
Jadi reviewer nggak akan melihat proses tapi hasil. Salah satu tips dalam
menyusun anggaran adalah jangan rakus.
“Jangan greedy! Yang proporsional aja kalau
mengajukan dana!” kata Pak Adi.
Relevansi peneliti dan judul nggak nyambung
Ini alasan
dari pentingnya keseriusan dalam menulis CV yang biasanya diletakkahn di
lampiran proposal. Terkadang ada orang yang record penelitiannya berbeda dengan
rumpun ilmu yang diajukan. Nggak salah, tapi ini akan membuat pengusul gagal
mendapatkan nilai sempurna.
Tidak mengikuti format yang telah ditentukan
Dalam proposal
penelitian biasanya ada lembar pengesahan yang harus ditandatangani oleh tiga
orang. Ketua peneliti, ketua prodi/jurusan, ketua LP3. Seringkali pengusul
hanya memasukkan tandatangan digital atan bahkan hasil scan. Ini mencerminkan
kalau pengusul tidak serius atau terburu-buru. Apalagi terkadang ada yang nggak
distempel basah. Jadi semua tandatangan dan stempel basah baru kemudian discan.
Begitu juga dengan tandatangan pada CV.
Ketika melihat
bahwa format di lembar pengesahannya udah kelihatan nggak niat, maka reviewer
enggan melanjutkan membaca proposal yang diajukan.
Penulisan judul yang kurang tepat
Seringkali
judul ditulis “penelitian bla bla bla di Kota Lampung,” padahal hal yang
diceritakan di judul sudah merupakan general knowlegde. Kecuali “menemukan
fosil gajah di lampung...” karena ini spesifik atau kita menceritakan tanaman
endemik, misalnya, maka harus dituliskan lokasinya.
Rencana target capaian tidak jelas
Buat
rencana target capaian tujuan sesuai dengan skema penelitian. Yang harus
diperhatikan oleh pengusul adalah tabel indikator kinerja penelitian. Konon tabel
ini sering lupa diidi. Kalau PDP yang dicontreng luaran yang wajib aja dulu.
Jangan semua dicotreng. Apalagi kalau skemanya hanya satu tahun. Sementara untuk
Teknologi tepat guna (TKT) untuk 2017 nggak wajib tapi untuk tahun berikutnya
harus ditulis. Untuk PDP, luaran tambahan sebaiknya tidak distate, fokus saja
pada luaran wajib.
Selain itu
rumusan masalah harus jelas. Secara umum penelitian harus memiliki dampak
nasional meski pun hanya kecil aja. Hal ini harus di dukung oleh tinjauan
pustaka yang baik.
Ini adalah koentji.
Kajian pustaka yang melandasi gagasan.
Nah,
penyakit yang dialami oleh para pengusul ini adalah membuat proposal seperti
membuat candi. Cuma semalam. Akibatnya tinjauan pustaka jadi sering
asal-asalan. Parahnya lagi kalau pustaka yang disitasi udah nggak mutakhir
lagi. Mutakhir di sini berarti ya sekitar sepuluh tahun ke belakang. Usahakan menggunakan
jurnal, jangan text book.
Nah, setelah
berhasil menyubmit proposal, pengusul sendiri akan melalui tahapan-tahapan
ujian kehidupan. Mulai dari penilaian proposal secara desk atau daring atau
online, setelah itu akan masuk kepada penilaian presentasi jika mungkin
diadakan, terkadang ada juga kinjungan lapangan atau site visit, dan yang
terakhir pengumuman.
Adapun
persentase penilaian pada tahap desk evaluasi adalah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah 25%
2.
Peluang
luaran 25%
3.
Metode 25%
4.
Tinjauan
pustaka 15%
5.
Kelayakan
10%
Si Reviewer
juga punya tanggungjawab moral untuk memberikan komentar. Jadi reviewer harus
memberikan komentar kenapa sih si proposal itu nggak lolos. Apa yang salah.
Pak Adi Pancoro
mengusulkan bahwa ada baiknya, kalau di institusi kita punya grup. Di sana kita
lakukan presentasi, lalu teman-teman memberikan nilai dengan betul. Untuk
latihan. Ini hanya langkah awal untuk meyakinkan apakah kita sudah menulils
proposal dengan baik. Jangan malu-malu untuk ngajak temannya. Dari sini
kelihatan kalau penilaian dalam penulisan proposal harus ditampailkan dengan
clear semuanya.
Semuanya
punya pengalaman waktu menuis skripsi atau tesis. Secara garis besar semua
proposal cara berpikirnya sama. Hanya luarannya yg berbeda.
Kepentingannya
berbeda. Pemberi dana menginnginkan kita berlatih dengan adanya PDP. Bagaimana
strategi kita agar bisa jadi pemain dalam skema perguruan tinggi. Ini menja di pemicu
untuk kesempatan sekolah karena PDP hanya diberikan maksimal dua kali seumur
hidup.
Sebagai informasi
tambahan, semua proposal penelitian yang ditolak atau diterima punya alasan.
Yang punya wewenang untuk mempertanyakan hal itu adalah ketua LP3 dengan
mengirim surat resmi ke panitia seleksi.
Teman-teman
ada tips lain nggak supaya proposal penelitian kita diterima? Share di kolom
komentar, dong.
research proposal oh research proposal. Saya sudah lama nggak menggeluti dunia akademik pernah harus bikin research proposal, minggu pertama komputer cuman dipelototin aja nggak tau mo mulai dari apa.
ReplyDeleteTim kami menang yang >50juta Mbak Rindu, pertanggungjawabannya mumet banget hahaha *nangis darah*
ReplyDeletekalau saya biasanya di topik RND.
ReplyDeletememang untung dana susah sekali urusannya, pernah dulu buat laporan selisih 5000 rupiah.
5000 rupiah apa sih? tapi ketika secara pembukuan selisih ya membahayakan
Aku kalau diminta buat proposal ya angkat tangan. Gak pinter. Kalau penelitian asal2 lan atau contoh proposal aku msh oke. Kalau bneran ya msh butuh byk blajar Mbak. Biasanya minta bantuan pd org yg pernah gol soal proposal
ReplyDeletewah baru tahu yg soal ttd digital itu dianggap ga serius. selama ini aq ngira nya malah itu solusi e. jadi cv pun mending discan gitu bagian ttd?
ReplyDeleteTapi rata2 orang hanya terfokus pada pague anggaran. Ketika diajukan sebiah proposal pasti anggaran dulu yg dilihat.
ReplyDeleteYg lainnya gak.... Kalaupun ada cuma orang ADM aja...
ni mainan akademik bangat nih, tapi bukannya proposal penelitian itu sering dikirim melaui email ya? kan kalau email mmng menggunakan ttd hasil scan hmmmm
ReplyDeletePostingannya keren Mbak Rinda, sangat berguna buat para akademisi. Aku masih kurang paham tentang judul itu. Pencantuman lokasi di judul tidak perlu jika judulnya seperti apa Mbak? Mohon pencerahannya ya 😊
ReplyDeleteIni postingan paling berbobot nih dari beberapa tulisan yang kubaca hari ini.
ReplyDeleteAda beberapa istilah yang aku ga paham. Di sisi akademik, aku belum pernah bikin proposal apalagi untuk penelitian. Tapi di bidang sosial, ada beberapa proposal yang pernah kubikin dan alhamdulillah gol.
Tapi kalau proposal kaya gitu, kan paling "ribet" cuma di masalah pembukuan dana aja. Tetek bengek kaya kajian dan lain lain ndak terlalu dipersulit :-)
Wkwkwkwk...
ReplyDeletekebiasaan bikin proposal yang terinspirasi kisah bandung bandawasa membuat 1000 candi dalam semalam memang membudidaya.
Btw, aku sering mengabaikan abstrak jika baca jurnal (tak pernah baca proposal), langsung ke isinya. ternyata salah ya
Postingan yang sangat bermanfaat Mbak. Karena sesungguhnya proposal penelitian itu gagal menerima hibah ga cuma faktor takdir juga tapi bisa lebih karena ada ikhtiar yang perlu diupayakan lebih baik lagi :)
ReplyDeleteKadang ada ..yang ngajuin penelitian cuma cari profit..
ReplyDeleteKatanya bantuan penelitian dari pemerintah lumayan...
Karena niatbyg salah atau gak cocok malah gak paham yg mau diteliti bidang mananya..malah ga diterima proposal ya..
Rasa rasanya klo ditolak dan gagal terus rasanya sakit juga haha udh susah payah eh msh ga terima juga :( tetapi, kita jgn menyerah untuk meriah kesuksesan untuk lulus
ReplyDeleteKalau soal mengajukan proposal untuk penelitian, saya harus belajar sama mamah mertua yang profesinya sama dengan Mbak Rinda. Di kampusnya, setiap dosen memang dituntut untuk bisa melakukan penelitian. Sumber penghasilan yang cukup lumayan juga, ya he he he
ReplyDeleteKisah membuat proposal ini tentu ga seindah saat eksekusi.
ReplyDeleteSelama membuatnya sesuai dengan teori yang dipelajari, maka habis sudah.
Pengalaman di lab dulu, banyak faktor yang mewarnai terjadinya penyimpangan-penyimpangan hasil yang diperoleh.
Sehingga perhitungan prosentase galat harus diperhitungkan juga.
((aku sejujurnya paling senang saat sudah eksekusi di lab ketimbang menyamakan dengan teori))