www.conejousd.org |
Cerita
tentang pengalaman saya jaman sekolah dulu mungkin udah nggak perlu
dibahas-bahas lagi. Namanya juga masa lalu. Meskipun katanya mentor softskill training di kampus saya bilang
kalau masa lalu itu masih ada dan masa depan sudah ada. Tapi saya anaknya
(berusaha) untuk gampang move on.
Dan
entah kenapa para admin #1Minggu1Cerita mengangkat tema Aku dan Sekolahku. Padahal
trending topic sekolah fullday udah lewat. Pak Anies Baswedan
yang meneduhkan itu juga sudah tamat. Kasus kekerasan di sekolah juga nggak
pernah dengar lagi beberapa hari ini. Dan yang paling membuat saya agak sedikit
menyesal adalah hilangnya ospek dari perguruan tinggi.
Ah, mungkin admin keingetan dengan mantannya waktu SMA. Atau gebetannya cinta monyet waktu SD. Yasudahlah, namanya juga masa lalu. Kita ingat aja yang seru-seru.
Ah, mungkin admin keingetan dengan mantannya waktu SMA. Atau gebetannya cinta monyet waktu SD. Yasudahlah, namanya juga masa lalu. Kita ingat aja yang seru-seru.
Kekerasan di Sekolah
Di
masa sekolah, saya tentunya pernah mengalami masa-masa paling nggak enak sampai
menyakitkan. Di-bully sampai ‘dipaksa’
untuk selalu jadi juara itu sudah biasa. Dampaknya ya kayak sekarang ini, saya
juga jadi selalu menuntut oranglain untuk bisa lebih dari segala-galanya. Tanpa
saya sadari, pengalaman masa kecil itulah yang menempa kepribadian saya. Saya jadi
mudah marah karena dulu sering dimarahi. Saya jadi ambisius karena dulu selalu
harus jadi jawara. Meski pada kenyataannya saya anaknya suka ogah-ogahan. Dan sekarang saya cenderung lebih santai kayak di pantai. Damai, biar bisa cepat sukses.
Ini
saya sadari sekitar sebulan lalu ketika mengikuti pelatihan softskill dan saya harus mengikuti sesi
yang mirip hipnoterapi. Ternyata saya harus membuang semua kenangan buruk di
masa lalu supaya bisa damai hingga dengan mudah meraih kesuksesan.
Baca juga: Strategi Sukses di Kampus dengan Damai
Baca juga: Strategi Sukses di Kampus dengan Damai
Di
masa saya sekolah dulu, katanya Bapak adalah guru paling killer dan ‘ringan tangan’. Di sisi lain, beliau juga dekat dengan
siswanya. Mungkin itu semacam alterego, tapi nyata adanya.
Kalau
Bapak sampai sekarang masih kasar sama siswanya, mungkin sudah berkali-kali
bersinggungan dengan urusan hukum. Ya emang bukan yang ngeroyok siswa karena
dia ketauan merokok di kelas. Bukan juga mencubit sampai kulit tubuh siswanya
potel. Tapi bukankah sekarang ini cuma sekedar ngasih cubitan sayang aja
berujung di pengadilan?
Ada
yang tau nasib Pak Samhudi,
seorang guru di Sidoarjo yang mencubit siswanya dan divonis tiga bulan penjara juga
dipidana denda Rp 250 ribu? Terus gimana dengan Pak Dasrul yang dipukuli siswa
dan orangtuanya karena nggak terima dengan tamparan sayang gara-gara sang siswa
yang perkasa itu berkata kasar dan melawan?
Orangtua
sudah kehilangan kepercayaan terhadap guru di sekolah. Dipikirnya mereka nggak
mampu mendidik anak-anak. Dipikirnya orangtualah yang paling pintar
segala-gala. Kalau emang niat untuk menitipkan anak ke sekolah, ya kasih
kepercayaan. Mau ikut mantau aktivitas guru dan kegiatan sekolah takut ada
penyelewengan, bentuk ikatan orangtua murid! Gitu aja kok repot. Kalo emang ada
kasus kekerasan, lapor aja ke website sekolahaman.kemdikbud.go.id.
Cerita
Ibu beda lagi. Beberapa orangtua siswa nungguin anaknya di sekolah. Bukan lagi
di luar gerbang, tapi ikut duduk bareng anaknya. Kalau anaknya nggak bisa nulis
seperti yang diajarkan gurunya, orangtuanya yang bantu. Bukan, bukan ngajarin
tapi malah orangtuanya yang nulisin. Apa banget kan? Alas an mereka hanya
karena kalau ditinggal anaknya bakal nangis, kasian masih kecil, endebrew
endebrew. Orang-orang di kampung saya emang aneh, Guys!
Sampai
akhirnya karena udah nggak bisa dibilangin lagi jadi Ibu marah. Beliau bilang
kalo emang nggak percaya anaknya dititip ke sekolah, silakan bawa pulang
anaknya dan jangan pernah datang lagi! Ibuku gitu loh!
Di
masa sekolah dulu, saya juga sering di-bully.
Salah satunya karena Bapak saya Katolik waktu saya masih SD. Bapak saya
nggak pernah ke masjid walau rumah kami di depan masjid. Bapak saya suka
merokok dan rambutnya sering gondrong. Mungkin menurut mereka, yang paling
sempurna adalah keluarga mereka. Yang paling benar juga mereka walaupun entah
apa yang sebenarnya diperbuat oleh orangtuanya. Mereka berhak mem-bully karena mereka muslim dari lahir.
Di
sisi lain, Bapak saya orang yang paling cepat bergerak kalau ada orang yang
sakit dan butuh bantuan. Dan mengaku sebagai anak Bapak kepada tukang ojeg di
depan jalan lintas membuat saya merasa aman ketika pulang malam dari sekolah
yang jaraknya dua puluhan kilometer karena pengawalan mereka.
Waktu
SD saya diantar-jemput tetangga ke sekolah karena motor Bapak udah nggak muat
lagi dan saya sekolah siang. Sampai akhirnya saya malu karena diejek terus,
akhirnya minta dibeliin sepeda. Sewaktu SMP juga saya masih naik sepeda dengan
jarak rumah-sekolah lima kilometer. Mirip Ikal CS di Laskar Pelangi gitu deh.
Karena
saya anak guru dan nggak kayak anak-anak yang lain. Kalo nilai saya bagus,
mereka akan curiga. Kalo nilai saya anjlok, mereka bilang, “kebangetan anak
guru kok bego!” Hayati selalu salah.
Sampai
sekarang pun, kalau apa-apa saya selalu dikira ‘lewat jalan belakang’. Masuk
SMA favorit, masuk kampus negeri favorit, sampe bisa kerja di kampus negeri
juga dikira pakai nepotisme dan kroni-kroninya. Adik saya yang kemarin lulus
SNMPTN alias masuk PTN lewat jalur undangan juga dicurigai gitu. Oh, andai
mereka tau…
That’s why saya nggak pernah
suka cerita tentang aktivitas saya dengan orang-orang di kampung. Mereka kan
beda, mereka nggak paham dengan pola hidup yang menempa saya sedari kecil. Tapi
entah, selalu aja ada yang tau secuil-cuilnya cerita keberhasilan saya ini-itu.
Anteupkeun weh.
Stigma itu…
Honestly, di awal saya menaruh
harapan besar kepada Bapak Anies Baswedan. Itu kenapa saya sampai ikut jadi
relawan. Tapi kesini-kesini kok yang susah malah guru-guru ya. Utamanya guru di
kampung yang emang udah terlanjur left
behind.
Baca juga: Tertindas, Berharap dan Selalu Menunggu
Baca juga: Tertindas, Berharap dan Selalu Menunggu
Waktu TK saya pernah mogok sekolah. Saya nggak mau lagi sekolah karena aktivitasnya Cuma nyanyi-nyanyi setiap hari. Seingat saya emang nggak diajari nggambar. Saya juga nggak diajari aktivitas kayak dance kecuali Senam Kesegaran Jasmani. Saya bilang saya bosan. Tapi saya harus menunggu sampai tahun depannya lagi supaya umur saya pas untuk masuk SD. Dan sepertinya menunggu untuk bisa sekolah SD itu sangat melelahkan.
Saya
nggak bisa membayangkan anak-anak sekarang yang sekolah dari jaman PAUD. Abis itu
masuk TK. Baru kemudian SD. Selain sekolah mereka juga udah les ini-itu. Haduh,
tua mendadak kali yah. Ada lagi yang seumuran saya udah post doc. Iya, saya cuma sampe S2 aja pilek. Kasian sih. Karena saya yang sekolahnya lempeng-lempeng
aja bosan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah si anak nggak sempat mengenyam pendidikan kehidupan. Tsaaah.
Ceritnya
saya waktu itu udah bosan juga sekolah SD. Saya nggak sabaran pengin cepat-cepat
ganti seragam. Enam tahun itu lama banget. Sampai akhirnya waktu saya kelas
empat saya ikut Bapak ngawas ujian akhir di sekolahnya. Saya bisa ngerjain
soal-soalnya. Di kelas lima saya disuruh ikut ujian akhir sama kepala
sekolahnya Bapak, tapi Bapak menolak. Khawatir dikira ada nepotisme. Mentang-mentang
anak guru diluluskan. Pasti dikasih bocoran soal. Dan sebagainya.
Hidup
saya sebagai seorang anak guru emang udah rumit dari sononya. Saya akui ini
karena saya hidup di kampung dengan masyarakat yang kebanyakan kurang terdidik.
Di sana juga nggak ada kelas akselerasi. Jadi emang saya harus malas-malasan
meneruskan sekolah sampai enam tahun.
Catatan
saya yang lain adalah tentang penilaian fisik orang terhadap saya. Dulu saya
emang kurus tinggi dan rambut legam terurai panjang. Saya suka banget nari
karena emang udah diajari dari kecil. Sewaktu ada lomba nari di kecamatan, saya
digantikan oleh seorang teman. Guru saya bilang, “nanti kamu kecapekan, terus
sakit.” Sh*t.
Jadi
dari dulu emang telapak tangan dan kaki saya selalu berkeringat. Orang bilang
saya sakit jantung, jantung bocor, dan entah apa yang serem-serem gitu. Orangtua
saya udah berusaha ngobati saya kesana dan kemari, tapi ya dasarnya emang nggak
penyakitan ya nggak ada vonis apapun terhadap diri saya. Bahkan sampai sekarang
juga telapak tangan dan kaki saya masih keringetan, kok. Naik gunung aja aman, bisa selamat turun lagi. Turun lapang berhari-hari juga sehat kok meski cuma makan nasi sama bawang goreng. Dan kayaknya dulu kalo
Cuma sampe level kecamatan saya pasti nggak bakal kenapa-kenapa, kok. Bahkan mungkin
saya juga bisa kok sampai ke nasional. Saya benar-benar sakit hati waktu itu.
Long story short, masa-masa
sekolah saya, nggak bisa lepas dari stigma.
Sistem pendidikan
idaman
Agak
ironi sebenarnya kalo ngomongin system pendidikan idaman. Faktanya sekarang
saya justru terjun di dalamnya dan belum bisa memberikan perubahan berarti. Saya
pendidik, but sorry seriously I can’t
teach.
Terus
kalo nggak bisa ngajar, kenapa jadi dosen?
Saya nggak pengin kerja di industry as my educational background said. Kerja di industry itu monoton dengan rutinitas mengejar target perusahaan, bukan target pribadi atau Negara (?). belum lagi perusahaan-perusaan raksasa itu mengerikan. Dengan jadi dosen, saya ikut serta mencerdaskan bangsa, saya tetap bisa melakukan pengabdian masyarakat, dan tentunya saya harus meneliti dan harus sekolah lagi. Saya suka sekolah di perguruan tinggi, apalagi kalau dibiayai. LOL.
Baca juga: Liku Kehidupan yang Hanya Bisa Dipahami Oleh Mereka yang Kuliah di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Saya bisa aja mengajar sesuai dengan bidang keilmuan saya. Kemampuan pedagogis saya yakin bisa sangat mungkin dipelajari. Tapi sayangnya pendidikan kita mungkin masih sangat mengejar prestasi dan pamrih. Jadi nggak penting lagi pembangunan dan pengembangan karakter yang malah jadi topic inferior di beberapa institusi pendidikan.
Saya bisa aja mengajar sesuai dengan bidang keilmuan saya. Kemampuan pedagogis saya yakin bisa sangat mungkin dipelajari. Tapi sayangnya pendidikan kita mungkin masih sangat mengejar prestasi dan pamrih. Jadi nggak penting lagi pembangunan dan pengembangan karakter yang malah jadi topic inferior di beberapa institusi pendidikan.
Di
kampus saya aja masih banyak banget PR-nya. Sebagai PTNB, tentunya ini waktu
yang tepat bagi kami untuk membangun karakter dari awal. Sebelum terlanjur
karena udah susah banget kalo mau mengubah karakter yang udah mendarah daging.
Saya
mengajar matematika, bukan bidang keahlian saya tapi saya ‘dipaksa’ untuk bisa.
Well, saya berusaha. Sementara mahasiswa
Tahap Persiapan Bersama (TPB) ada yang berasal dari SMA IPA, IPS, Madrasah,
bahkan SMA. Dalam satu kelas, sebaran latar belakang siswa sangat heterogen. Bagus
sih, secara pemerataan dan untuk perkembangan social mahasiswa. Tapi pada
kenyataannya, di kelas, beberapa mahasiswa saya sangat menonjol, bahkan bisa
mengritisi kalau saya salah. Beberapa lainnya bahkan nggak tau gimana cara
memfaktorkan suatu persamaan atau pertidaksamaan.
Yang
sudah terbiasa, bisa sangat cepat. Sementara yang belum pernah mendapat
matematika merasa sangat stress dan
tertinggal. Ini berdampak pada psikologis saya. Saya jadi bingung gimana cara
menyampaikan materi kepada mahasiswa. Kadang saya takut kecepetan, tapi di sisi
lain beberapa mahasiswa nggak dapat apa-apa. Saya bahkan sering nggak nyambung
di kelas. Saya akui itu. Saya sendiri stress
menghadapi tuntutan kampus.Saya sendiri dulu sempat trauma matematika karena cara mengajar guru saya dari kelas satu sampai kelas tiga sama. Rebutan banyak-banyakan menjawab soal dengan benar, atau dibilang "tidak lulus SD!" sambil jari telunjuknya mengarah ke hidung kita. Sejak saat itu saya menjadi lambat, sampai sekarang pun ketika menyiapkan bahan untuk diajarkan.
Sementara
bicara tentang pendidikan karakter, mungkin saya bisa bilang ini adalah dampak
dari pendidikan yang mereka terima di masa emas periode pertumbuhannya. Dari kecil
orangtua mereka udah sibuk kerja. Anak kurang perhatian. Kemudian cepat-cepat
disekolahkan. Guru di sekolahannya produk pendidikan keguruan asal-asalan. Ya,
karakter yang seharusnya nggak akan nempel di kehidupan selanjutnya. Anak belum
sempat belajar untuk menempatkan peran sebagai makhluk sosial, sudah dijejali
ilmu yang tinggi-tinggi sehingga mereka merasa yang paling di atas awan.
Contoh
kecil aja, di kantin kampus kami ada aturan untuk meletakkan piring dan gelas
kotor ke tempat cucian atau tempat pengumpulan. Sampah-sampah juga harus
dibersihkan. Tempat untuk meng-collect alat
makan yang kotor juga di sebar di beberapa penjuru kantin yang bentuknya mirip food court dan aturan itu tertulis di
meja makan. Masih ada aja
piring-piring dan sampah kotor bertebaran di meja-meja. Dihinggapi lalat dan
menyusahkan pengunjung selanjutnya karena keterbatasan pramu. Bukan hanya
mahasasiswa, bahkan dosen juga begitu.
Contoh
lainnya di toilet. Tisu bertebaran dimana-mana. Bahkan kadang dimasukkan ke
dalam kloset. Saya nggak habis pikir, itu letak otaknya dimana? Mahasiswa itu bukan lagi anak TK. Dosen kan
paling enggak udah makan bangku sekolahan sampai S2, tapi kelakuannya melebihi
masyarakat dampingan saya yang berinovasi demi kelestarian alam padahal nggak
pernah sekolah.
Sekolah
adalah masa lalu. Senang, sedih, salah kaprah semuanya adalah produk dari
keterlanjuran. Yang saya pikirkan sekarang adalah nasib para mahasiswa saya. Sebisa
mungkin saya menanamkan pendidikan karakter pada diri mereka. Sekecil mungkin setidaknya biar ada perubahan. Maka dari itu
selalu saya sisipkan pesan-pesan untuk selalu sayang terhadap lingkungan
sekitar. Menyapa office boy, satpam,
sampai penjaga kantin. Bertutur sopan sampai menjaga perasaan dosen yang sudah
susah payah belajar untuk bisa mengajar mereka dengan segala keterbatasan.
Sistem pendidikan di Indonesia, memang masih baaaanyaaaaaak pe-ernya ya Mba... It takes a long long looooong time to change. Kayak benang kusut, mbundeli. Gak jelas mana ujung mana pangkal. Tapiii., tetaplah optimis. Harapan perbaikan itu masih ad, insyaaAllah..
ReplyDeleteBtw, blognya cakep. Saya suka. Salam kenal.
Betul banget! Terimakasih Bu Guru, :)
DeleteAq gemes deh waktu baca bagian yg ada ibu2 ikut sekolah anaknya. Aq setuju bgt tuh ibu mu akhirnya marah ke ortu yg begitu.
ReplyDeleteTerus utk yg bagian usia muda uda post doc, menurutku malah bagus bgt, setidaknya biar org2 berpendidikan tinggi di Indonesia makin bertambah meski baru di lihat dari sisi quantity.
LOL. betchullll. tapi yg di sekelilingku bener2 kuantitas bgt yg dikejar :D
DeleteSaya setuju mbak, pendidikan karakter sebaiknya diutamakan...
ReplyDeletesiapppp!
DeleteNice post teh :)
ReplyDeleteShare tentang pelatihan soft skill yang pake hypnotherapy nya dong teh ;)
ada di 2 link di atas teh, cuma emang sekilas2 gitu :D
DeleteSetuju dengan seluruh postingannya mbak...
ReplyDelete*give applause..
yeaaayyy! terimkasih
Delete