Tujuan
pertama dari penyeberangan saya dan Hungry Bear dari Desa Kunjir sebelum sampai
di Pulau Mengkudu adalah Batu Lapis Park. Perjalanan kami lakukan bersama Dewi
dan Devi dengan perahu yang dikemudikan oleh Bang Ari selama kurang lebih
sepuluh menit . Setelah bersusah payah menambatkan sauh, akhirnya kami bisa
mendarat di atas batu yang berlapis-lapis.
Baca juga:
Pulau Mengkudu, Apa Sih yang Dicari?
Konon
taman ini sering disebut dengan “Tanah Lot-nya Lampung” karena bentuk
bebatuannya yang mirip dengan batu di Tanah Lot Bali. Pastinya tanpa ada hiasan
pura di ujungnya. Tapi menurut saya tetap saja berbeda. Tanah Lot bukanlah Batu
Lapis. Mereka berbeda. TITIK!
Menginjakkan
kaki pertama kali di atas batu tanpa alas kaki membuat saya mengaduh. Pasalnya
bebatuannya tajam dan terpapar sinar matahari siang yang terik. Harus
berhati-hati dalam melangkahkan kaki di sana. Lumut-lumut licin menghiasi
permukaan batu yang terendam dan terpapar air laut. Sementara permukaan batu
yang tajam dan curam sangat mungkin menyebabkan kita jatuh ke air, terseret
ombak, atau terantuk batu.
Kecantikan
memang sarat dengan bahaya. Nggak lengkap kalau cantik tapi gampangan,kan?
Begitu juga Batu Lapis di Desa Batu Balak, Rajabasa, Lampung Selatan ini. Dari
jauh sudah nampak kalau batu yang seolah disusun berlapis secara perlahan ini
memang eksotis. Jujur saya lebih suka dengan pemandangan ini daripada Pulau
Mengkudu yang berantakan. Hanya saja, saya tetap dibuat kecewa dengan tumpukan
sampah.
Saya tidak
habis pikir, apa sebenarnya yang ada di benak para pengunjung. Datang dengan
niat berlibur, mencari hiburan dan kesegaran, tapi pulang meninggalkan
sampah-sampah yang menodai tempat yang telah memberikan mereka kenangan. Bukan
hanya di permukaan batu saja, di laut pun penuh sampah. Ditambah lagi adanya
angin barat yang membawa sampah dari daratan lainnya menambah rusaknya
pemandangan.
Disana
kami bertemu dengan Pak Is. Warga sekitar pulau yang sering memunguti sampah di
sekitar Batu Lapis. Pak Is memang menarik retrebusi sebesar Rp. 5000 meskipun
masalah sampah yang berserakan di sekitar Batu Lapis tidak pernah selesai. Pak
Is memunguti botol-botol minuman dan menjualnya ke pengepul. Dia membakar
sampah-sampah lainnya. Ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Apa sih
susahnya bagi pengunjung untuk membawa bekal dari rumah. Memasukkan air ke
dalam botol, makanan ke dalam misting atau setidaknya membawa pulang kembali
sampah mereka. Meski sampah adalah tanggungjawab produsen, tapi konsumen juga
yang pada akhirnya bersalah atas berseraknya sampah, apalagi di laut.
Baca juga:
Lagi, Teluk Lampung Diserang HABs
Apa perlu
saya kuliahi tentang sampah di lautan? Mungkin butuh tiga SKS.
Kembali ke
eksotisme Batu Lapis. Kebanyakan pengunjung berjuang untuk bisa mendapatkan
foto tampak atas dengan mendaki bukit di Batu Lapis ini. menurut keterangan
Bang Ari, dengan melakukan tracking sekitar tiga puluh menit, pengunjung akan disuguhi keindahan panorama yang luar
biasa. Dan foto yang dia ambil dari sanalah yang digunakan untuk mempromosikan
wisata Pulau Mengkudu oleh warga desa.
Dari Batu
Lapis, Pulau Mengkudu dan pasir timbulnya sudah tampak semakin dekat. Dalam
kondisi pasang besar, air laut di pasir timbul bisa setinggi pinggang orang
dewasa.
Tips:
1.
Lebih
baik pergi berkelompok
2.
Bawa
jaket windbreaker
3.
Gunakan
spatu tracking atau minimal sandal gunung
4.
Bawa
trashbag untuk membantu membersihkan pantai
5.
Untuk
menginap, komunikasikan dulu dengan warga setempat. Khawatirnya cuaca sedang
tidak bagus dan mintalah ditemani warga.
6.
Bawa
logistik sendiri
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<