Dulu
semasa kecil saya sangat larut dalam euphoria lebaran. Berpuasa, tilawah, jadi
anak manis demi kelak bisa merayakan kemenangan dari semua kesulitan dan
tantangan yang harus saya alami selama satu bulan.
Dulu,
sewaktu saya masih dua bersaudara, kami sangat senang pergi lebaran ke rumah
Mbah dari Ibu. Kami selalu pergi ke sana kalau lebaran karena Mbah Kakung dan
Mbah Putri dari Bapak nggak merayakan. Kami sebut itu mudik meski hanya
berjarak tiga sampai empat jam dari kampung kami. Setidaknya, kami bahagia
karena bisa mudik ke kota. Sambil merayakan kenaikan kelas dengan puncak
prestasi, kami sangat menikmati hari-hari kami dalam berpuasa.
Baca juga: Toilet Cafe, Another Amazing Start Up Idea
Dulu, saya
dan adik sangat menanti-nantikan saat-saat mendebarkan ketika pagi-pagi kami
dibangunkan dan melihat tas pakaian sudah rapi. Kami bahagia meski harus mudik
dengan sepeda motor Jet Colet tua. Saya duduk di depan, di atas tas pakaian dan
berpegangan pada tangkai spion. Adik saya di tengah diapit oleh Bapak dan Ibu.
Waktu itu jalanan nggak semrawut seperti sekarang. Udara juga belum terlalu
kotor dan panas. Kami sangat senang menikmati mudik dan menantikan perayaan
hari kemenangan kami atas ibadah ramadhan selama sebulan.
Setelah
adik saya bertambah hingga menjadi tiga orang, kami nggak lagi bisa
mengandalkan sepeda motor untuk mudik ke rumah Mbah dari Ibu, apalagi merayakan
natal di rumah Mbah dari Bapak yang jaraknya lebih jauh. Kami harus naik
angkutan umum yang mana itu nggak mungkin banget karena dari rumah kami ke
jalan untuk mengakses bus Bakauheni-Rajabasa harus ditempuh lewat jalanan aspal
berlubang sampai dua puluh senti tanpa angkutan umum. Kemudian orangtua kami
berpikir untuk patungan dengan perantau-perantau lain yang akan mudik searah
dengan kami. Hingga akhirnya kami mudik dengan mobil carteran.
Bapak
memangku adik nomor tiga, Ibu memangku adik nomor dua. Aku dan adikku kadang
dititipkan ke orang lain yang nggak bawa anak dan nggak repot. Sampai kami
beranjak besar dan kami harus membayar untuk enam orang dalam setiap moda
angkutan. Nggak bisa lagi berhemat. Sementara ekonomi keluarga belum juga
bersinar terang.
Saya ingat
betul, untuk bisa mudik orang tua saya harus bekerja lebih keras. Bapak harus
semakin rajin narik ojeg sepulang sekolah. Kadang nggak sengaja saya dengar
kalau mereka berhutang. Demi bisa mudik lebaran.
Suatu
ketika, kira-kira sewaktu saya SMA, saya dengan Mbah Putri ‘ngamuk’. Apapun
yang dilakukan oleh Pakde-Pakde saya dan keluarganya semuanya salah. Gara-gara
kami belum juga ada di sana pada lebaran hari pertama. Padahal, dari tujuh
anaknya, enam anak sudah berkumpul kecuali Ibu saya. Kami memang yang paling
jauh sehingga kami kerap kesulitan kalau mau mudik. Mbah Putri marah, keluarga
di sana menyalahkan kami yang datang pada lebaran kedua.
Sejak saat
itu, saya kehilangan makna merayakan lebaran. Merayakan Idul Fitri. Merayakan
hari kemenangan. Saya pikir orang-orang terlalu egois. Terlalu ingin bahagia
sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan orang lain. Orang-orang berbondong-bondong
mudik, dengan cara apapun demi bisa sampai di kampung halaman dengan damai.
Orang-orang ingin belanja baju lebaran, kue-kue dan makanan enak meski entah
harus berhutang darimana. Saya bingung, kemenangan mana yang harus saya
rayakan.
Termasuk
Mbah Putri saya, dan keluarga lainnya. Mereka nggak mau tau kalau kami di
kampung sedang bingung mengatur kelompok carteran yang hanya bisa berangkat
pada lebaran kedua. Mereka nggak mau tau yang penting kami ada di sana, Ibu
belanja bahan-bahan pangan mewah padahal mereka nggak tau seberapa Bapak harus
bekerja lebih keras narik ojeg meski belum cukup uang untuk mudik. Mereka juga
nggak tau pertengkaran-pertengkaran kecil tentang uang, tentang pakaian-pakaian
yang belum dibereskan, atau tentang tetangga yang bilang bahwa kami harus tetap
lebaran di kampung.
Hingga
sampai pada hari ini, momen Idul Fitri kali ini saya lewati dengan penuh
kehampaan. Entah apa. Saya merasa seperti kehilangan.
Saya mulai
lebih gelisah pada seminggu menjelang lebaran. Lalu lalang kendaraan di kampung
saya semakin padat. Pasar-pasar semakin penuh. Minimarket juga. Setiap saya
mengantar Ibu pergi ke pasar, saya selalu menemukan ironi. Semua pedagang mengeluhkan modal dagang yang
meroket, sementara pembeli menawar dan mengomentari harga dengan pedas. Tapi
mereka tetap membelinya. Orang-orang bekerja lebih giat, berusaha lebih keras
demi mendapatkan uang yang berarti kebahagiaan di hari raya. Sampai saya pikir,
mereka nampaknya sangat berlebihan.
“Tiga
ribu, Bu!” protes tukang parkir motor dadakan yang kepada Ibu saya, “yang
seribunya buat THR.”
Fine. Saya
memastikan THR yang mereka dapatkan dalam sehari bisa jauh lebih banyak dari
THR yang diberikan Bapak kepada guru-guru di sekolahnya.
“Cabe
seperempat lima belas ribu, Bu,” padahal pasar dua hari sebelumnya sekilomasih
Rp. 30.000,”Pengin lebaran, maklum, Bu,” kata tukang sayuran yang membeli cabai
hasil panen tetangga saya Rp. 25.000 sekilo.
Saya lupa
menghitung berapa banyak orang yang protes dengan harga daging. Padahal
orang-orang di kampung kami pun tetap bisa hidup tanpa makan daging sapi. Tapi
entah kenapa mereka tetap latah beli berkilo-kilo daging sapi yang harganya
sangat jauh dari harga normal sebelum puasa atau lebaran. Kenapa nggak makan
daging sapi pasca lebaran aja? Kenapa nggak melengkapi kebutuhan daging pas
murah aja? Kenapa udah protes harga ini-itu tapi tetap belanja sirup dan atau
minuman bersoda yang nggak lebih sehat daripada teh tubruk?
Saya
pengin cerita tentang tradisi lebaran di kampung saya. Iya di The Lost World
ini. Malam takbiran selalu diwarnai dengan pawai. Jangan bayangkan pawai yang
dilakukan oleh berpuluh-ratus orang dengan kostum unik. Atau pawai dengan
sarung dan kopiah membawa obor. Its so yesterday. Sekarang pawai di kampung
kami diikuti oleh belasan traktor dan entah berapa pick up. Iya, traktor yang
dipakai untuk membajak sawah itu.
Para
orangtua akan kehilangan akalnya sehingga membiarkan anak-anak mereka
bergelantungan di atas traktor ataumobil pick up. Atau bahkan ugal-ugalan di
atas motor. Beberapa orang anak-anak dan dewasa membunyikan petasan dan kembang
api. Meriah, kan? Sementara takbir hanya digaungkan oleh selongsong entah
kaset, entah MP3 player.
Keluarga
saya biasanya hanya menutup telinga, menambah volume suara tivi, atau berdzikir
karena Ibu saya selalu kaget dengan suara petasan yang seperti dilempar ke atap
rumah kami.
Jam
sebelas malam pawai malam takbiran kali ini belum juga berakhir. Saya sudah
mendapat kabar bahwa tetangga saya mencari anak-anaknya yang entah dimana. Nggak
lama dari itu kami dengar kabar bahwa ada beberapa anak yang terjatuh dari
traktor, ada lagi yang tergilas traktor. Kami beristighfar.
Cerita
ketika sholat Ied beda lagi. Kami kesiangan karena malamnya nggak bisa tidur
akibat suara petasan. Ya, lebih meriah suara petasan daripada gema takbir dari
masjid yang berirama. Akibatnya, saya, Ibu dan adik perempuan saya mendapat
jatah sholat di aula pondok yang biasa digunakan santri untuk mengaji. Aula
ini, atau pendopo terletak tepat di sisi kanan masjid. Shaf perempuan dan
laki-laki dipisahkankiri-kanan dengan tirai berwarna hijau. Masih ada lagi yang
sholat di auala, juga di belakang aula dengan beralaskan tikar.
Saya nggak
pernah melarang anak-anak untuk dibawa ke masjid. Bahkan saya pikir itu
adalahupaya mendidik anak untuk mencintai masjid dan punya kenangan tentang
masjid kelak. Tapi suasana Sholat Ied, di sini benar-benar terganggu dengan
beberapa anak yang teriak-teriak, menangis, sementara entah orangtuanya khusyuk
atau enggak sholatnya. Kami aja nggak khusyuk, sungguh terlalu kalau
orangtuanya bisa khusyuk.
Cerita
saya pribadi beda lagi, imam sudah dua kali takbir pada rakaat pertama. Saya
masih sibuk merapatkan barisan dan menclok sana-sini karena ada beberapa shaf
yang kosong. Saya pikir mereka egois. Jamaah masjid ini egois. Pengurus masjid
ini egois. Belum lagi suara imam yang nggak terdengar jelas, ditambah suara
teriakan bocah-bocah yang kehilangan perhatian orangtuanya. Tapi sayangnya saya
lupa bawa pulpen dan kertas untuk menulis saran dan memasukannya ke kotak amal.
Pulang ke
rumah, kami sekeluarga sibuk menyusun kue dan buah. Saya juga membuat lemon tea
untuk para tamu. Kemudian saya dan adik-adik berkeliling, bersilaturahmi ke
rumah tetangga. Ini adalah sarana orang-orang yang merasa tua, banyak
pengalaman, pintar, perhatian sekaligus
KEPO untuk menasehati orang lain. Jangan khawatir, saya hanya menganggap itu
suara sumbang. Masuk kuping kiri keluar kuping kiri lagi. Mantul.
Sebenarnya
saya sangat malas untuk pergi agak jauh karena harus naik motor. Jalanan super
ramai. Orang yang baru bisa naik motor pun akan keluar rumah. Mereka seolah
dapat keberanian dan nyawa ekstra dan nggak akan pernah takut celaka.
Sore hari,
dari beberapa orang yang datang saya tau bahwa ada beberapa kali kecelakaan.
Entah tabrakan, jatuh sendiri, atau mungkin juga mereka menjatuhkan diri.
Menjelang lebaran hari ketiga, orang-orang sudah mulai berwisata. Biasanya ke pantai karena daerah kami dekat dengan pantai. Ummm... nggak dekat juga sih, sekitar dua puluhan kilo. Mereka naik mobil pick up yang jelas-jelas dilarang untuk membawa orang. Belum lagi saya dengar kecelakaan beruntun yang terjadi di Cimahi melibatkan puluhan korban luka-luka dan meninggal. Belum lagi info di tivi tentang pemudik yang kecelakaan lalu meninggal.
Yaa Rabb... saya benar-benar kehilangan makna lebaran. Orang-orang banyak yang nggak sadar kalo ngelakuin something annoying sampe menyebalkan, hingga merugikan semuanya demi berbahagia versinya sendiri, demi lebaran. Lebaran yang bukan lagi bermakna leburan. Lebaran bukan lagi berarti merayakan kemenangan. Entah kemenangan atas apa yang dirayakan dengan cara begitu.
Entah sampai kapan saya akan merasa hampa. Entah sampai kapan.
Semoga amal ibadah kita semua diterima oleh Allah SWT, diampuni dosa-dosa kita, Maafin saya, yaa... :)
kok seperti sayah ya. Sebagai anak yang masih baru memulai berkeluarga seringkali ga bisa pulang ke Medan. Sanak keluarga dan sodara kandung bertanya2, jadilah keluarga kecilku yang tak pulang ke medan. Kadang-kadang jengkel juga, kalo orang ga ngerti apa yang kita rasakan, bahkan setelah dijelaskan... :)
ReplyDeleteSelamat lebaran mbaa :)
ReplyDeletekarena lebaran adalah lebih banyak hal2 yang bersifat tambahan
ReplyDeletekalo inti dan ibadahnya mah sederhana pisan padahal
*kayanya gitusih*