Widih
judulnya, kayaknya isinya bakal kontroversial nih!
Haha...
jangan suudzon dulu, itu adalah pernyataan sekaligus pertanyaan dari Bang Ari,
warga Desa Kunjir. Bang Ari hanya salah satu dari puluhan pemilik perahu yang
diuntungkan dengan tenarnya Pulau Mengkudu di Desa Batu Balak, Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan.
Jumat
kemarin, (15/7) saya berkesempatan ke sana bareng HB. Kebetulan dia sedang ke
Lampung untuk silaturahmi dan membantu saya menyelesaikan beberapa urusan. Dari
rumah kami berangkat jam sembilan pagi. Agak nanggung kalo memang mau langsung
nyebrang karena HB harus jumatan dulu. Akhirnya kami mampir sejenak ke beberapa
pantai di sepanjang jalan.
Semua pantainya bagus-bagus. Bahkan bagi saya yang emang udah sering ngeliat. Apalagi HB yang sampe ndusun banget karena pantainya keliatan jernih dan pasirnya putih bersih, beda dengan kebanyakan pantai di Pesisir Selatan Jogja. Di sepanjang jalan pengunjung disuguhi pemandangan Gunung Rajabasa di kiri jalan dan pantai-pantai yang eksotis di kanan jalan. Kondisi jalan yang nggak terlalu lebar, naik-turun dan sedikit berliku terkadang diabaikan oleh pengunjung yang baru pertama kali ke sini karena terpesona dengan pemandangannya.
Semua pantainya bagus-bagus. Bahkan bagi saya yang emang udah sering ngeliat. Apalagi HB yang sampe ndusun banget karena pantainya keliatan jernih dan pasirnya putih bersih, beda dengan kebanyakan pantai di Pesisir Selatan Jogja. Di sepanjang jalan pengunjung disuguhi pemandangan Gunung Rajabasa di kiri jalan dan pantai-pantai yang eksotis di kanan jalan. Kondisi jalan yang nggak terlalu lebar, naik-turun dan sedikit berliku terkadang diabaikan oleh pengunjung yang baru pertama kali ke sini karena terpesona dengan pemandangannya.
Pulau
mengkudu bisa diakses dengan menumpang perahu dari Dermaga Canti, Desa Kunjir,
atau Pantai Kahai. Untuk bisa menuju ke sana harus dengan menggunakan kendaraan
pribadi atau ojeg dari Kalianda. Jaraknya sekitar dua puluhan kilometer aja.
Dulu memang ada angkutan pedesaan. Warnanya biru tua, tapi sekarang mungkin
angkutan itu sudah kalah dengan bisnis tukang kredit kendaraan bermotor. Jadi semua
orang sekarang nggak butuh angkutan umum.
Baca juga: Info Wisata Ayo Berwisata Ke Sumatera.
Saya
memutuskan untuk berhenti di pinggir pantai Desa Kunjir. Terakhir kali saya ke
sana sekitar empat tahun lalu untuk urusan community development. Jadi sambil
nunggu HB jumatan, saya bisa silaturahmi dan makan bakso di depan pantai.
Ini
saya berpose bareng botol-botol bekas yang disusun membentuk perahu sebagai
tugu selamat datangnya Desa Kunjir.
Desa
ini telah concern menjadi desa wisata sejak lama. Saat ini mereka banyak
dibantu oleh kawan-kawan dari Komunitas Janis, Jalin Inovasi Sosial, yang telah
banyak membuat perubahan berarti bagi warga desa.
Menurut
info sebelumnya, untuk bisa menyeberang ke Pulau Mengkudu harus menumpang
perahu dengan tarif Rp. 25.000 per orang. Di beberapa plang pengumuman yang lebih
tepat disebut iklan juga demikian. Tapi ketika kami ketemu dengan tukang perahu
di Desa Kunjir, beliau memasang tarif Rp. 30.000 per orang. Perahu bisa
berangkat setelah penumpangnya empat orang, jadi saya dan HB nggak bisa
berangkat. Bisa aja perahu itu kami carter, tarifnya Rp. 100.000. Kami
keberatan dengan tarif itu, maka kami teruskan perjalanan mengunjungi
pantai-pantai lainnya.
Kami
masuk ke gerbang Pantai Kahai Krakatau Resort. Menurut informasi dari media
sosial, kita bisa menumpang perahu dari pantai ini. Kata petugas satpam di
sana, tarif perahu ke Pulau Mengkudu Rp. 30.000 dengan tiket masuk pantai kahai
resort Rp. 25.000. bisa juga lewat Pantai Kahai yang dikelola oleh Karang
Taruna Sekitar dengan tarif Rp. 20.000. Kalau untuk rombongan, tarif bisa
ditotal menjadi Rpp. 40.000 per orang. Menurut pengakuan petugas satpam, tarif
kita akan dipotong untuk biaya calo.
Saya
dan HB memutuskan untuk berbalik menuju arah pulang. Kami berencana mampir ke
rumah kawan saya di Desa Canggu dan mampir lagi ke Pantai di sekitarnya. Tapi
di perjalanan kami diteriaki oleh Bang Ari, pemilik perahu di Desa Kunjir. Ada
dua orang yang pengin berangkat menyeberang ke Pulau Mengkudu. Dan akhirnya
kami juga berangkat.
Menurut
pengakuan Bang Ari, Pulau Mengkudu baru setahun ini banyak dikunjungi. Awalnya
akses yang banyak ditempuh oleh pengunjung adalah akses darat melalui Kahai.
Pengunjung harus tracking dengan meda
jalan setapak yang berdebu di musim kemarau atau becek di musim hujan. Setelah
itu pengunjung harus menyusur tebing dan melewati pasir timbul untuk bisa
sampai di Pulau Mengkudu. Tapi saat ini akses darat sudah ditutup. Hal itu
karena jalan tersebutmerupakan jalan rintisan sebuah perusahaan tambang batu.
Sadly,
perusahaan itulah yang telah berjasa memperkenalkan Pulau Mengkudu dan Batu
Lapis ke khalayak luas. Perusahaan bernama Rajabasa Kedaton Makmur (RKM) masih
terus melalukan aktivitas penambangan batu di bukit itu ketika kami berkunjung
dan melihat aksi fork lift menaklukan batu-batuan tebing dan truk-truk
mengangkutnya keluar.
Bang
Ari dan juga pemilik perahu-perahu lainnya juga sebenarnya bersyukur dengan
penutupan akses darat itu karena otomatis pengunjung membutuhkan jasa perahu.
Syukur yang ironi. Dengan ditutupnya akses darat dan keabsenan pengunjung
melewati jalanan itu tentu penambang akan lebih leluasa melakukan aktivitasnya.
Pulau
Mengkudu ini bukanlah milik negara, tapi milik seseorang di Kota Kalianda.
Warga sekitar meminta kepada sang pemilik untuk tidak menyerahkan pulau
tersebut kepada pengusaha walaupun pulau itu telah ditawar sampai empat milyar.
Warga khawatir akan adanya pengusaha yang melakukan aktivitas bisnis di Pulau
Mengkudu. Sudah banyak terbukti, dengan adanya campur tangan pengusaha warga
sekitar dikorbankan. Bang Ari mencontohkan keberadaan Kahai Krakatau Resort
yang saat ini dikelola oleh orang Jakarta. Karyawannya pun bahkan konon bukan
warga sekitar kecuali sebagian sangat kecil yang sangat beruntung.
Warga
di sekitar Pulau Mengkudu telah berencana melakukan pengembangan wisata yang
tetap berkelanjutan dan tidak memasukan unsur modernitas di dalamnya.
Pengembangan itu akan dilakukan bertahap termasuk membangun penginapan berupa
rumah panggung dengan materal kayu dan menonjolkan unsur tradisionalnya. Kalau
dalam bayangan saya mungkin akan terlihat seperti di Teluk Kiluan.
Kembali
ke pengakuan Bang Ari pada judul tulisan ini, bukan mudah memang untuk mencapai
Pulau Mengkudu. Dulu ada serombongan orang yang kehujanan di perjalanan sampai
tiga kali tapi tetap meneruskan perjalanan dan meluruskan niat untuk pergi ke
Pulau Mengkudu. Bahkan orang-orang dari luar Lampung pun banyak yang berkunjung
ke sana.
“Mereka
itu sebenarnya nyari apa, sih? Menurut saya ini biasa aja!”
Begitu
juga dengan pendapat saya. Sama sekali nggak ada hal istimewa di pulau ini.
Malahan saya dan HB hanya numpang makan di sana karena ... yaa nothing special.
Bahkan menurut HB yang selalu menggilai pantai dan laut. Kalau saya memang
tinggal nggak jauh dari pesisir dan sudah sangat terbiasa dengan kondisi pantai
memang nggak salah kalau kurang menemukan apa sih asyiknya berada di Pulau
Mengkudu.
Sebagai
gambaran, ketika kita turun dari perahu, kita akan menginjak
bongkahan-bongkahan batu karang dari yang teksturnya halus sampai tajam. Di
atas tumpukan batu itu juga bertumpuk sampah-sampah. Itu hal yang paling
membuat saya sebal. Sayangnya saya nggak bawa trash bag atau plastik apapun
yang bisa menampung sampah-sampah itu untuk saya bawa pulang.
Lebih
jauh ke dalam pulau kita akan menemukan pohon-pohon yang masih sangat alami.
Nggak tersentuh apapun kecuali ulah kebobrokan mental (lagi-lagi) pengunjung
yang melukai batang pohon demi meninggalkan kenangan mereka di sana.
Jangan membawa apapun kecuali kenangan,Jangan mengambil apapun kecuali gambar,Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.
Sebenarnya
yang mulai “dijual” dari pulau ini adalah spot snorkelingnya. Pengunjung bisa
menyewa alat sepuasnya dengan tarif Rp. 25.000. Pasir timbul si sini konon juga
banyak dibicarakan di media sosial. Tapi menurut HB, pasir timbulnya nggak seeksotis yang ada
di Pantai Baron, Jogja. Ada juga pulau di seberangnya yang kelihatannnya lebih
seru, Pulau Sekepal yang memang sangat kecil.
Pulau Sekepal yang kecil di tengah |
Untuk
bisa bermalam di sana pengunjung harus membawa perlengkapan berkemah sendiri dengan
biaya retrebusi yang berbeda dengan pengunjung yang tidak menginap yang hanya
dimintai biaya kebersihan Rp. 5.000. Sekalipun ada retrebusi yang disebut uang
kebersihan, sampah di sana memang sudah sangat keterlaluan.
Karena
tidak menemukan kepuasan dari suguhan pulau yang sangat tenar itu, saya mencoba
menarik sisi human interest dari kunjungan saya ke sana. Tentang orang-orang
yang bertahan hidup dengan caranya masing-masing. Tentang warga yang berjuang untuk melakukan pengembangan
wisata secara mandiri. Warga yang tidak ingin daerahnya tersentuh tangan
pengusaha modern. Juga ironi perusahaan yang justru mengeksploitasi kawasan
bukit yang semula hijau dan eksotik.
Cerita Senin Depan: Tentang Batu Lapis
Tips:
1.
Lebih
baik pergi berkelompok
2.
Bawa
jaket windbreaker
3.
Gunakan
spatu tracking atau minimal sandal gunung
4.
Bawa
trashbag untuk membantu membersihkan pantai
5.
Untuk
menginap, komunikasikan dulu dengan warga setempat. Khawatirnya cuaca sedang
tidak bagus dan mintalah ditemani warga.
6.
Bawa
logistik sendiri
aku tukang jalan-jalan
ReplyDeletedan bukan anak bakpeker ataupun PA.
tapi suka kesel kalo denger: tempat A jadi mulai rusak gara-gara jadi tempat wisata, tempat B juga begitu dst
kadang suka kepikir: mending tempat yang keren-keren itu gausah diketahui ajadeh sama banyak orang
tah eta!
Deletedan itu kebanyakan tempat wisata emang begitu. syedih.
Ya kesannya tempat ini menjadi tidak menarik ya. Mungkin penduduk lokal belum diajak membangun 'rumahnya'sebagai tempat wisata.
ReplyDeletemungkin mereka masih gagap-kunjungan, visit-shock(semacam culture-shock)#apeu
Delete