Tergopoh-gopoh
Agus kembali datang ke kantor Pengadilan.
“Kenapa
kamu ngasih berkas kamu ke Parno? Saya tunggu-tunggu kok kamu nggak
datang-datang,” Udin nampak sangat kesal.
“Maaf,
Pak, emangnya salah, ya? Tadi sewaktu saya pamit sama Bapak untuk pergi ke
rental, Pak Parno mencegat saya. Dia bilang dia yang akan membuatkan surat
permohonan dan surat pernyataan saya, Pak. Jadi saya nggak perlu pergi ke
rental. Pak Parno juga bilang kalau dia yang akan menyerahkan berkas saya ke
Bapak,” Agus sangat bingung sekaligus takut.
“Saya ini
baru sebulan di (mutasi ke) sini. Saya pengen mengilangin budaya kayak gini.
Kan kacau. Kemarin temen kamu yang sepuluh orang aja kena tiga ratus ribuan
sama dia. Dia itu calo! Saya sempat tegang tadi sama dia...! Tapi kamu kan
nggak tau, ya sudah. Tunggu sini aja. Pejabat yang tandatangan surat kamu belum
datang dari istirahat.”
Sudah
nyaris jam dua siang. Agus tetap bersabar dan berusaha menenangkan
cacing-cacing sholeh di perutnya yang berpuasa. Udin marah karena Agus memberikan
berkasnya kepada Parno yang ternyata seorang calo. Dia karyawan biasa, bukan
PNS pula. Sementara Udin adalah pejabat Panitera Muda Hukum di kantor itu.
Agus memang
sudah cukup lama menganggur. Jobless dan
jomblo merupakan perpaduan nasib yang cukup menggelisahkan baginya. Hingga hari
ini dia nyaris mendapatkan pekerjaan impiannya. Dia telah sampai pada tahap
pemberkasan. Nyaris mencapai garis finish
yang kelak akan menjadi start up kehidupan
barunya. Dia membutuhkan Surat Bersih Diri atau biasa disebut dengan Surat
Bebas Pidana. Maka dengan penuh harap Agus yang malang mengayuh sepeda tuanya
menuju kota kabupaten, mendatangi kantor Pengadilan Negeri dimana Udin dan
Parno mengabdikan diri.
Agus
merasa sangat lega karena diselamatkan oleh Udin. Berkali-kali Agus mengucapkan
terimakasih dan Udin terus mengungkapkan cita-cita mengubah tradisi buruk
birokrasi di kantornya. Udin, pejabat berhati jujur dan berniat tulus untuk
menghapus pungli di instansinya. Senada dengan karakter Agus yang tak pernah
menyukai ‘ular-ular kantor’ semacam Parno. Agus merasa cocok dengan Udin dan
juga Wati, rekan seruangan Udin. Mereka bercerita apa saja untuk membunuh
waktu. Mulai dari karus peradilan hingga masalah jual-beli tanah di Kota Baru. Tak
lupa tentang Agus yang bukan keturunan siapa-siapa sehingga sedikit sulit
mendapat kerja. Keasyikan itu membuat Agus sedikit lupa bahwa sedang menunggu
sang pejabat penandatangan yang mungkin sedang tidur siang di rumahnya. Dan
Agus memang merasa nyaman di sana.
“Saya
nanti gimana ya, Pak kalau ketemu Pak Parno lagi? Apa saya menghindar aja dari
dia?” tanya Agus ketika surat pesanannyanyaris selesai seiring jam kerja yang
telah berakhir.
“Kamu tadi
sudah ditembak (suruh bayar) berapa sama dia?” bisik Udin.
“Enggak
sih, Pak. Belum disuruh berapa-berapa. Saya pikir gratis, Pak.”
“Dia itu
kemarin ngasih harga tinggi-tinggi! Nggak mikir orang yang dimintainya aja
belum dapat kerja. Butuh surat ini untuk nyari kerja. Dia minta sampe minimal
tiga ratusan!” Agus merasa terharu mendengar penuturan lembut Udin.
Waktu
berlalu,
“Susah
memang ya, Pak menghapuskan pungli. Padahal di depan kantor uda ada bannernya!”
Agus mengutarakan idealismenya.
“Nah
itulah!” Udin meninggi. Agus merasa di udara.
“Ini
suratmu. Legalisirnya udah nggak bisa lagi ini. kantornya udah mau tutup. Kamu
nggak bakal sempat motokopi,” Agus lemas.
“Gini aja,
Gus. Enak nggak ya kalo kamu nanti bilang aja ke Si Parno kalo uangnya udah
sama saya. Kamu ngasih seratus lima puluh (ribu rupiah) aja ke saya! Nggak usah
banyak-banyak!”
“Pek go,
Pak?” Agus yang lugu terbelalak.
“Iya. Enak
nggak ya sama dia. Saya mah takut dia ngambek atau gimana. Kalo di sini sih
yang wajib dibayar ke saya memang seratus ribu. Jadi kamu ngasih Parno gocap
aja!” Udin bermain mata.
“Yaa Tuhaaaan...
aku keluar dari mulut kobra, masuk ke kerongkongan singa!” Agus semakin lemas.
Dia sangat merindukan rumah dan takjil berbuka puasa. Dia berharap angin dapat
mengayuh sepeda tuanya dan membawanya pulang.
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<