Lima tahun lalu, saya pernah residensi di
Tangerang, tepatnya di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga. Desa itu
adalah desa nelayan. Pada saat santai, pernah saya dan teman-teman mengarungi
laut menuju pulau Rambut. Pulau itu kecil. Namun yang mengejutkan buat saya
adalah pulau yang seharusnya menjadi cagar alam itu dipenuhi sampah. Iya,
sampah!
Saya tidak heran melihat Desa Tanjung Pasir
berpasir hitam karena menggunungnya tumpukan sampah. Sampah-sampah yang berasal
dari pabrik, wisatawan, dan sampah rumah tangga. Sampah-sampah itu dibawa oleh
ombak menggelombang hingga ke pulau Rambut dan pulau-pulau sekitarnya.
Sampah di Pulau Rambut |
Lebih sedih lagi ketika melihat bagaimana cara
masyarakat menangani sampah tersebut di Desa Tanjung Pasir dan sekitarnya.
Dengan cara membakarnya. Cara paling purba dan dirasa mudah. Saya kemudian
pulang kembali ke Bandung. Di Bandung juga tak lepas dari perilaku membakar
sampah secara liar.
Saya pikir masyarakat juga tahu bahaya membakar
sampah secara liar. Mulai dari sumbangsih besar terhadap pemanasan global
akibat efek rumah kaca, gangguan kesehatan seperti pernapasan, dan lain
sebagainya. Bukankah ketika kita membakar sampah secara liar kita telah
membakar diri kita sendiri? Alam selalu menang, begitu ucapan salah satu tokoh
dalam serial Fear of the Walking Dead.
Kok kesannya kita seperti berperang dengan alam? Ya jelas dengan membakar
sampah sembarangan melukai alam dan wajar saja jika alam kemudian melawan.
Sudah saatnya kita menyayangi sampah kita sendiri.
Rasa sayang yang tulus seperti kita menyayangi bagian tubuh atau anggota
keluarga kita. Pertanyaannya bagaimana kita menyayangi sampah? Bukankah sampah
identik dengan pembuangan?
Lama saya berpikir bagaimana menulis artikel ini
hingga bisa menjadi, minimal laku hidup saya dalam menyayangi sampah. Pertama-tama adalah mengubah sudut pandang
terhadap sampah dari yang awalnya sesuatu yang tidak berguna menjadi
sesuatu yang berdaya guna asal tahu caranya atau tahu menyalurkannya ke mana.
Bayangkan pohon kelapa yang seluruh elemennya berdaya guna. Sama saja dengan
barang-barang yang kita pakai, sisa sampahnya pun berdaya guna. Ada yang bisa
menjadi pupuk, plastik bisa menjadi tas, limbah bisa menjadi pembangkit tenaga
listrik.
Kedua, agar daya guna sampah ini maksimal, biasakan menyiapkan tong
sampah yang memisahkan sampah organik dan nonorganik. Sampah organik bisa kita kubur dan menjadi pupuk bagi tanaman.
Sementara sampah no organik jika kita enggan membuat prakarya bisa kita
hibahkan pada pemulung sampah. Tuh kan, kita bisa beramal pada sesama.
Ketiga, mengedukasi lingkungan terkecil yaitu diri kita sendiri dan keluarga dalam menyayangi sampah.
Percayalah bahwa kesadaran satu orang dapat menjadi virus bagi orang lain juga.
Saya sendiri sedang membiasakan diri disiplin membuang sampah sesuai
kategorinya. Awalnya susah juga, lama-lama terbiasa.
Sampah Di Desa Tanjung Pasir |
Keempat, jangan membuang sampah sembarangan. Perilaku membakar sampah sembarangan dimulai dari perilaku membuang
sampah sembarangan. Kita yang memakai suatu barang lalu orang lain yang harus
membereskannya? Rasanya tidak adil. Saya membiasakan diri untuk selalu membawa
sampah hasil pribadi ke rumah jika tidak menemukan tong sampah.
Kelima, mencintai diri sendiri. Lho, kenapa? Saya
selalu percaya, orang yang mencintai dirinya sendiri bisa mencintai orang lain,
lalu bisa mencintai alam sekitarnya. Tentunya kita mau sehat selalu? Menyayangi
sampah, memperlakukan sampah dengan baik menimbulkan efek dicintai oleh sampah.
Sampah-sampah tidak akan sampai hati menyakiti kita.
Dari lima cara menyayangi sampah di atas adakah
yang sulit bagimu? Let’s talk ^_^
Evi Sri Rejeki
Twitter: @EviSriRejeki
Instagram: @evisrirejeki
Blog: evisrirejeki.com
Ndaaa... itu, anu, namaku pake "Z" bukan "J".
ReplyDeleteJadi @EviSriRezeki dan www.evisrirezeki.com hehe
Di desa sini, mostly orang-orangnya buang sampah ke sungai. Pas musim hujan, terus sungai meluap dan banjir, rame-rame demo nyalahin pemerintah *kan ga lucu -____-
ReplyDelete