Foto: Pinterest |
Mungkin itu hanya kekhawatiran berlebihan saya. Atau mungkin imajinasi saya yang terlalu tinggi. Tapi kok saya takut kalau hal itu benar-benar jadi kenyataan. Faktanya, harga kantong kresek di minimarket lebih murah daripada permen yang biasa digunakan sebagai pengganti uang receh kembalian.
Semalam saya pergi ke sebuah minimarket yang menjamur
dimana-mana itu lho. Sebelum ke kasir, saya mendengar ada seorang ibu yang
berceramah bahwa pemerintah nggak becus untuk sekedar ngurusi sampah. Kemudian
Si Mbak kasir yang memang sudah kenal dengan saya bilang, “Mbak, pasti udah
bawa tas sendiri, ya?” sambil melirik ke ibu itu.
“Masak kayak di luar
(negeri) aja. Kresek aja harus bayar!” ternyata si ibu itu mantan TKW di luar
negeri.
Belanja lebih dari dua ratus ribu, suruh bayar kresek nggak
sampe 2,5 persennya aja ngomel-ngomel. Padahal aturan kantong kresek berbayar
itu belum berlaku. Inilah penyakitnya, sudah ribut duluan sebelum ngerasain
manfaat atau mudharatnya. Kata Coldplay,
you never know if you never try! So,
nikmati saja dulu.
Sampai di rumah, saya nonton tivi dan kuciwa mendadak. Lha
kok harga kreseknya cuma Rp. 200-2.000 aja! Harga permen di warung sebelah aja
seribu tiga. Saya mendadak jadi orang nyinyir terhadap aneka respon
pemberlakuan UJI COBA kebijakan dari Kementeriannya Bu Baya yang sudah lumayan banyak
bertindak daripada sekedar berwacana ini. Iya, baru uji coba.
Jujur saya adalah salah seorang yang berteriak kencang
supaya aturan ini diterapkan. Termasuk dengan mengisi petisi dukungan di
change.org. Tapi sayangnya saya kurang aware dengan harga kresek yang
ditetapkan.
Kalau menimbang nominalnya, saya jadi agak sepakat dengan
Pak Walikota Solo. Beliau bilang kalau upaya ini kurang efektif. Menurutnya,
retailer harus menyediakan kantong belanja reusable
bagi pelanggannya. Itu bisa diambil dari dana CSR perusahaan. Pak Walikota
ada benarnya kalau mengingat kekhawatiran saya yang terpatri pada judul di
atas.
Nggak sedikit juga yang rewel di media sosial dan nyinyirin
pemerintah yang pengen dana tambahan supaya masuk ke kas APBN. Hellooo! Dana
penjualan kantong kresek ini nggak akan masuk ke kantong negara, lho. Masuknya
ke kas perusahaan retailer. Yang niat mulianya kelak supaya CSR perusahaan bisa
bekerjasama dengan NGO atau semacamnya untuk pemberdayaan masyarakat dan
melakukan kegiatan pemulihan kualitas lingkungan. Kalau sampai sini sih saya
takutnya malah jadi ajang pencitraan si perusahaan aja. Banyak tho yang begitu?
Ngaku!
Saya ini emang belum punya penghasilan. Saya masih
nyari-nyari kerjaan. Mau buka usaha juga mentok di modal terus. Modal dana, lho
maksudnya. Kalo modal ilmu dan niat apalagi semangat sih udah full tank (sekalian curhat). Tapi saya
bangga karena cukup sombong dengan menganggap bahwa harga kresek itu terlalu
murah. Harganya masih nggak sebanding dengan rentetan dampak yang
ditimbulkannya. Faktanya, dalam proses produksinya aja kresek itu sudah
membahayakan. Kalo nggak percaya gugling atau yahoing aja. Benerin kalau saya
salah ya. namanya juga masih belajar.
Kalau menurut saya, oke aja kalau yang mau pakai kresek
suruh bayar. Tapi kasih juga apresiasi untuk pelanggan yang pakai reusable bag. Kalau semua retailer menerapkan
sistem diskon yang lumayan kayak di salah satu supermarket ‘itu’ sembari
menerapkan sistem pembelian kantong kresek kayaknya dampaknya bisa lebih terasa
nyata.
Be
realistic, deh. Sampah yang menghantui kita bukan
cuma kantong kresek yang bisa dengan mudah diatasi kalo kita niat tulus ikhlas
mau bawa reusable bag saat
berbelanja. Lambat laun, kita juga bakal ditimbun sampah kemasan produk.
Tinggal nunggu waktu aja.
Saya ingat betul salah satu bahasan pada konferensi Indonesia
Institute of Life Cycle Assesment (ILCA) di Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada pada September 2013
lalu. Seorang keynote speaker dari
Jerman, Prof. Helmut Schmitz memaparkan tentang
laut yang penuh dengan sampah plastik.
Menurut
Prof. Helmut Produk-produk yang kita konsumsi pada akhirnya akan meninggalkan
sampah kemasan, terutama plastik. Kita punya strong regulation, tapi dalam implementasinya hanya sebagian kecil
saja yang dapat menyelesaikan masalah ini. Beliau melakukan kegiatan
pemberdayaan para nelayan yang bekerjasama dengan NGO. NGO tersebut ada yang berfokus
pada pemberdayaan mental para nelayan, ada juga yang fokus pada pengolahan
limbah plastik dari lautan. Upaya itu cukup sukses mengurangi cemaran sampah
plastik di lautan Jerman meski butuh waktu yang sangat lama untuk sekedar
mengajak orang kepada kebaikan.
Saat ini
ada plastik yang mudah didegradasi. Plastik jenis ini dapat digunakan sebagai
kemasan. Namun tetap saja akumulasinya akan menyebabkan hazard. Banyak juga retailer yang mengampanyekan dukungan mereka
untuk go green dengan memberikan
plastik oxium. Tapi menurut saya, ini tetap aja nyampah. Plastik itu tetap
membutuhkan waktu untuk terurai meski tak selama plastik konvensional. Sambil
menunggu mereka terurai, sampai plastik go
green ini mampu menampung air hujan yang lagi rame sekarang-sekarang ini. Nyamuk,
lalat dan binatang-binatang lain jadi senang bersarang di sana. Akhirnya
saluran air juga jadi mampet karena sampah itu baru dibuang tiga hari lalu.
Jadi mau menyalahkan siapa kalau jadi banyak yang terserang DBD, malaria,
sampai kudisan gara-gara lingkungannya enggak nyaman? Belum lagi korban banjir
yang selalu menuntut pemerintah untuk mencari penyelesaian. Kemudian muncul
bioplastic yang cukup membantu manusia, tapi sialnya biaya produksinya juga
nggak murah.
Saya juga
ikut menanggapi materi yang dipaparkan oleh Ibu Akiyama, keynote speaker lain dari Tetrapack. Ketika itu sedang musim algae blooming di kawasan pesisir Kota
Bandar Lampung. Katanya, hal itu karena lautan tercemar sehingga menyebabkan
alga tumbuh dengan sangat cepat. Banyaknya sampah pesisir selain menyebabkan
gangguan kesehatan warga secara langsung juga mengganggu pemandangan. Hal ini
terjadi beberapa kali di beberapa lokasi di Indonesia. 90% bagian dari bumi
adalah lautan yang bergerak, inilah yang kemudian membawa limbah. Hal ini lebih
sulit diatasi daripada sampah atau limbah di daratan.
Menurut
Ibu Akiyama, sampah adalah tanggungjawab produsen. Konsumen nggak perlu
kemasan, tapi hanya mengambil isinya aja. Maka dari itu Tetrapack mampu menarik
sampah kemasan produknya yang ada di lingkungan dan mendaurulangnya. Beliau
mengaku, Tetrapack bekerjasama dengan NGO setempat dan juga pabrik daur ulang
di Jakarta. Mereka juga memperluas jaringan pengumpulan, bekerjasama dengan
pemuluk, pelapak, dan bandar. Awalnya masyarakat tidak tahu bahwa segala jenis
material ini memiliki nilai ekonomis. Kemudian dengan melakukan edukasi,
perlahan-lahan sampah tersebut dikumpulkan, kemudian pabrik menggunakan bahan
baku daur ulang tersebut. Ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Itu kata Bu
Akiyama, lho.
Got it, Guys?! SAMPAH KEMASAN ADALAH
TANGGUNGJAWAB PRODUSEN. Tapi produsen (dan juga saya sendiri) selalu menghitung
kemasan dalam biaya produksi barang dagangannya. Alih-alih merasa
bertanggungjawab dengan sampahnya, produsen justru makin membombardir kita
dengan sampah atas dalih kemajuan teknologi dan kepraktisan. Beda dengan
kemasan yang digunakan untuk produk rumah tangga yang kita pakai sehari-hari. Misalnya,
minyak goreng atau deterjen yang masih bisa kita minimalisasi dengan membeli
kemasan yang besar sekaligus. Selain harganya jadi agak hemat, kemasannya juga
bisa kita fungsikan jadi pot untuk nanam cabai. Teknologi pengemasan masih
bergantung pada kemasan plastik karena itulah yang paling ekonomis dan tepat
guna untuk distribusi produknya sampai ke konsumen.
So, Nggak usah ngambil contoh kemasan ciki yang
isinya angin doang, kedai-kedai kopi yang sering jadi andalan kalian konkow keren
dan nampang di medsos juga nyampah. Mereka lebih memilih pakai paper cup daripada nyuci gelas. Bahkan
pedagang-pedagang kaki lima juga ikutan latah. Pada pakai kemasan stirofoam
untuk wadah seblak ceker super seuhah.
Tukang dawet juga nggak mau kalah. Dia rela pesan plastic cup supaya ada label dan merek dagang yang memajang fotonya
yang bergaya sambil pamer jempol. Biar keren dan level kegantengannya naik nol
koma lima persen.
Pusing? Take it easy! Nyatanya memang membangun
tanpa merusak itu susah. Tapi yakinlah kawan, upaya pemerintah ini juga pasti
ada dampaknya. Meski kecil dan perlu waktu yang nggak sebentar, tapi kalau kita
semua mendukung dan optimis pasti selalu akan ada jalan kalau kita benar-benar
mau menjaga amanah kehidupan di bumi Tuhan ini. Tuhan memberkati niat yang
lurus, lho.
Soal harga kantong kresek, dinikmati dulu aja. Ada yang
bilang setelah masa UJI COBA ini berakhir, harganya ada kemungkinan dinaikkan.
Entah juga kalau uji cobanya gagal.
Kabar baiknya, tadi pagi ibu saya mendapat pengalaman
lumayan menyenangkan di pasar tradisional.
“Oh, pantesan Bu Sri kalo belanja nggak mau pake kresek!”
kata beberapa pedagang sayuran.
Semangat, Bu! PR kita masih banyak. Nggak banyak kebaikan
yang cukup ditebarkan semudah menolak kantong kresek rombengan dan bawa misting
untuk wadah ikan.
Kalo kata jingle iklan rokok dini hari tadi:
Kalo marah-marah, malah tambah susah
Jangan marah-marah, ayo kita ramah-ramah
kemarin suamiku bilang sama mbak kasirnya "Nggak usah pakai plastik mbak, mau dimasukkan ke dalam tas" yg ada sama kasirnya dipaksa disuruh pakai plastik mereka tapi ternyata tidak ada dalam nota pembayaran. Toko retail yg aneh.
ReplyDeletesaya pernah bikin blogpost ttg pegawai Ramayana yg marah-marah krn saya mau pk tas sendiri. waktu itu saya nggak jd belanja padahal udh masuk ke kasir. hahaha
DeleteBetul, PR kita masih banyak..
ReplyDeleteIni baru langkah awal *angkat gelas kopi*
Sama sy juga kecewa, harganya kemurahan. Cuma kalo pada protes berarti segitu cukup. Let see ajalah
yg penting hukum supply-demand-nya cukup works, Mbak. Kalo suruh bayar, mungkin aja demand kantong kresek jd turun. semoga.
DeleteTempo hari di salah satu supermarket, saya dapat 'cashback' Rp 200 karena bawa kantong belanja sendiri. Jadi kalau pakai kantong plastik dari toko kita mesti bayar Rp 200, mestinya kalau kita bawa kantong belanja sendiri, ya dapat 'cashback' juga dong, biar adil.
ReplyDeleteDi kesempatan lain, ketika kita menolak kantong plastik, mestinya kita bisa minta ganti pake kardus bekas kali ya...
Nanti ada lg yg komen, "kok cashback-nya cuma 200 perak? nggak kerasa" giliran suruh bayar plastik dg harga segitu dibilang kemahalan bla...bla..blaaa #crying
DeleteSedihnya saat percobaan ini gagal, plastik mulai dihambur-hambur lagi, astaghfirullah
ReplyDeleteSalam,
Kesya.