Hari itu berkah
hujan melimpah ruah di Bogor seharian. Kami duduk-duduk di beranda Footprint
Bed and Breakfast selepas makan malam. Saya merasa bahwa saya harus bicara dan
mengulik apapun tentang Elizabeth D. Inandiak ditemani Pak Isyanto dan Nora.
Sebelumnya saya
kurang ngeh bahwa dia adalah seorang sastrawan Perancis. Saya hanya ingat bahwa
namanya tidak begitu asing. Hingga malam sebelumnya ingatan saya melayang pada
petualangan saya dalam menggali kisah Centhini. Saya pernah membeli satu
potongan novel Centhini, seri kedua Minggatnya Cebolang dan seri terakhir Nafsu
Terakhir. Dan betapa beruntungnya saya bisa berada satu atap dengan penulisnya
kini.
Perkenalan Bu
Eli dengan Centhini berawal dari tulisan seorang Perancis tentang Jawa. Dia
menemukan dua lembar kisah Centhini. Hanya dua lembar dan kisahnya masih sangat
general. Akhirnya Bu Eli bertekad untuk melakukan riset tentang Serat Centhini
dan benar-benar mengabdi untuk kisah ini.
Mungkin seperti
yang saya alami. Bu Eli tersihir oleh Centhini hingga mendedikasikan hidupnya
untuk riset ini-itu hingga menerbitkan bukunya sendiri pada 2002 silam, Le Livre de Centhini ou Les chants de
l'île à dormir debout. Hingga akhirnya buku itu diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh sebuah lembaga pada 2008. Gayung
bersambut, begitu banyaknya apresiasi karya Bu Eli ini membuat Gramedia pun
akhirnya menerbitkan Serat Centhini, Kekasih yang Tersembunyi pada September
2015 silam.
Saya sendiri mengenal
Serat Centhini lewat Novel Amba karangan Laksmi Pamuntjak. Tidak banyak yang
dia tulis di sana tentang Centhini, tapi itu menyihir saya untuk terus mencari
tahu. Bahkan saya sampai mencari tahu tentang Bapak Sunardian Wirodono. Penulis
Centhini di Yogyakarta yang kelak akan diterbitkan dalam tiga jilid. Saya baru
punya dua jilid Serat Centhini versi Sunardian lengkap dengan tembang asli
dalam Bahasa Jawa. Saya juga membaca Serat Centhini versi beberapa penulis
lainnya, termasuk Nafsu Terakhir karya Ibu Eli.
Menurut Bu Eli,
karya ini sangat universal. Meski berasal dari Jawa, karya ini bisa diterima
dimana pun. Bahkan di Eropa. Dia merasa bahwa sebagian karakter Centhini ada
dalam dirinya. Bahwa sebagai manusia dia harus mengabdi. Itulah yang membuatnya
betah tinggal di Jawa selama seperempat abad terakhir. Di tempat yang berbeda
dengan negara asalnya yang sangat mengagungkan emansipasi.
Kisah di
dalamnya juga tidak kuno. Bahkan susuai dengan realitas kehidupan saat ini, dan
kapanpun. Tentang perjalanan Cebolang, misalnya. Remaja saat ini pun sama,
mereka dalam proses pencarian jati diri.
“Jika hal ini
dibiarkan, maka proses pencarian jati diri akan terus berlangsung hingga usia
50-60 tahun. Kenapa saya terlahir begini, dalam keluarga ini. Bukan itu... dan
sebagainya,” papar Bu Eli.
Uniknya, Serat
Centhini bukanlah kisah yang happy ending. Tokoh utamanya, Among Raga gagal
dalam proses pencarian Tuhan. Dia mencari Tuhan dari ‘atas’ sehingga dia
menjadi sombong dan lupa duniawi. Itulah pentingnya pembimbing spiritual dalam
proses pencarian akan Tuhan sehingga kita tidak tersesat. Dalam diri Amongraga
ada bibit dendam atas kematian ayahnya. Hingga dia terus berzikir dan akhirnya
dilahirkan sebagai Amangkurat IV dan menjadi raja yang sangat jahat. Inilah
‘nafsu terakhir’ yang dimaksud oleh Bu Eli. Nafsu akan kekuasaan.
Serat Centhini
mengajarkan kita untuk membersihkan diri dengan sangat dalam. Menurut Bu Eli,
yang berhasil dalam proses pengabdiannya adalah Centhini yang sungguh-sungguh
diam dan mengabdi. Centhini sebagai seorang abdi bisa benar-benar menyatu
dengan suluk (tembang). Abdi yang sangat rendah hati sehingga menurut Bu Eli,
sebutan Serat Centhini adalah penghormatan untuk pengabdiannya yang tulus.
Proses kreatifnya
dalam menyadur dan menuliskan kembali tembang-tembang dalam Suluk Tembangraras
melibatkan sangat banyak orang dan melalui proses yang berat dan panjang. Bu
Eli harus merekam tembang itu dan mendengarnya berulang-ulang untuk mencari
gaya menulis yang dalam. Dia juga membaca karya-karya Victor Hugo, sastrawan
Perancis untuk memperkaya bahasa dan kreativitasnya. Hingga akhirnya Bu Eli
bisa menerbitkan Serat Centhini versi Bahasa Perancis.
Selama sekitar
lima tahun dia memahami karya sastra kuno ini, dia hanya benar-benar fokus dan
tulus. Delapan bulan terakhir dipergunakannya hanya untuk menulis dan mengurus
anaknya yang masih sangat kecil. Dia bertanya kepada orang-orang pintar,
seorang ahli bahasa dari Keraton Solo, ahli agama, hingga sekelas Landung Simatupang dan tiga
penyair terus membersamainya. Salah satunya adalah seorang legenda bernama
Ronggo Warsito.
Bu Eli mengakui,
ajaran islam sufi dalam Serat Centhini kacau. Ketiga penyair yang membantunya
tidak menguasai Bahasa Arab. Sedangkan pada awal abad ke-20 orang Perancis
banyak menerjemahkan naskah sufi ke dalam bahasa mereka. Bahasa Arab dan Jawa
yang terdapat dalam Serat Centhini merupakan bahasa yang sangat sulit dipahami.
Bu Eli menebak bahwa dalam penulisannya dulu, mereka mempertimbangkan rima dan
irama kata-kata sehingga menghasilkan tembang yang indah dan enak didengar.
Apresiasi karya
Bu Eli yang orang asing ini sangat jauh dari perkiraan. Awalnya Bu Eli ragu
bahwa karya dan jerih payahnya akan diakui. Hingga suatu waktu dia pernah
pentas bersama Alm. Slamet Gundono di Taman Budaya Solo. Mereka sangat bangga
dan memberikan applause terhadap karyanya.
Menurutnya,
ajaran dalam Serat Centhini memang sudah seharusnya diterima di masyarakat
meski ada beberapa versi. Sepertihalnya Mahabharata yang diambil oleh dalang
dan diolah kembali. Tokoh Bima namanya menjadi Werkudara, dan sebagainya.
Esensi ajaran Serat Centhini tetap ada karena adaptasi sesuai perkembangan
‘Centhini abad 21’. Bahkan Centhini hadir dalam buku-buku sejarah Perancis
tentang pengembaraan orang yang tidak puas.
Banyak juga
orang yang menilai bahwa Serat Centhini adalah Kamasutranya Indonesia. Hal ini
dikarenakan banyaknya cerita tentang seksualitas di dalamnya. Bu Eli sendiri
tidak pernah menarik pembaca melalui sisi seksualitasnya. Karena ajaran dalam
Serat Centhini bahkan lebih agung daripada sekedar sempitnya isu seksualitas.
“Alm. Gusdur
pernah bilang bahwa Alquran adalah ajaran yang paling porno. Sama saja dengan
Serat Centhini ini. dari empat ribuan halamannya, tentu sangat porno jika yang
diambil adalah bagian seksnya,” kata Bu Eli.
Saya sangat
sepakat dengan ini. terlalu banyak orang yang berpikiran sempit terhadap
sesuatu sehingga mengabaikan hal yang sesungguhnya sangat esensial. Saya memang
hanya membaca saduran beberapa orang yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia (juga beberapa Bahasa Inggris) tapi saya berani menjamin bahwa Serat
Centhini tidaklah sesederhana itu. saya bahkan belum mampu memahami tembang
asli yang ditulis oleh Pak Sunardian. Saya hanya menikmati keindahan bahasanya.
Meski Bu eli
sendiri mengakui bahwa dia menuliskan secara gamblang tentang seks. Saya
membacanya pada Nafsu Terakhir. Aslinya, semua cerita itu berbentuk tembang,
jadi tidak kasar tutur bahasanya.
“Pornografi
artinya punya niat kotor. Niat jelek. Sedangkan kita tahu dalam Serat Centhini
bukan hanya itu. Kadang lucu, bahkan Naif. Amongraga yang sangat setia kepada
istrinya, tapi tidak dengan ketiga adiknya yang meskipun mereka tak bernafsu
dengan perempuan-perempuan tua, jelek, dan bau mereka merasa sayang untuk
melewatkan kesempatan. Perempuan-perempuan itu menggoda ketiga lelaki yang akan
sangat menyesal jika mereka mati dalam keadaan belum pernah menikmati hubungan
suami-istri,” jelas Bu Eli.
Yes!!! Seks
bebas bukanlah isu masa kini. Sangat salah jika banyak orang menggap ini adalah
kemunduran generasi. Nyatanya, perzinahan, perselingkuhan, seks bebas sudah ada
sejak tahun 1800-an ketika tembang-tembang ini disusun. Bahkan telah ada sejak
zaman nabi, toh?! Maka, sangat disayangkan jika pembaca kurang bijaksana dalam
memetik makna empat ribuan halaman tembang yang hanya diambil bagian seks-nya
saja. Mungkin otak mereka yang porno. Memperlakukan perempuan dan laki-laki
hanya sebagai objek belaka.
Lantaran saya
dan teman-teman kehabisan buku ini di Gramedia Botani Square, maka saya belum
bisa menceritakan apalagi meresensi karya terbaru Bu eli ini. kita tunggu saja
gebrakan-gebrakan selanjutnya dari Bu Eli yang konon akan tandem dengan Garin
Nugroho untuk menyuguhi kita sebuah teater yang ciamik. Siapa sangka, perempuan
lima puluh enam tahun ini dulu juga menulis naskah film di Perancis. Dia juga
menulis lepas untuk majalah-majalah di sana.
Satu lagi, untuk
bisa memetik hikmah dan mencegah tersesatnya para pembaca apalagi pembaca muda,
saya pikir sebaiknya digelar bedah buku daripada sekedar membaca dan menyimpulkan sendiri.
Khawatirnya, akan tersesat seperti Amongraga yang berkelana tanpa penunjuk
arah.
Time flies. Angin
malam makin menusuk tulang dan hujan makin deras turun menghujam. Sayangnya
kami harus menyudahi obrolan seru dan sarat makna itu. Saya dan Nora harus
pergi keluar sementara Ibu Elizabeth harus beristirahat dan menyiapkan
perjalanannya ke Jambi pada Kamis dini hari. Saya menanti karya novel based on
true story anda tentang Gunung Merapi Maret nanti. Madam, Au revoir!
Obrolan yang seru ya mba..Saya sendiri tidak begitu familiar dengan Serat Centhini tapi salut dengan dedikasi beliau untuk sebuah karya asli dari tanah Jawa..
ReplyDeleteExactly, Mbak Indah! Beliau benar-benar mengabdi untuk ini.
DeleteExactly, Mbak Indah! Beliau benar-benar mengabdi untuk ini.
ReplyDeleteWow!
ReplyDeleteAku tercerahkan sama postingan ini, dek.
Makasih ya, nanti mau cari bukunya ah.. belum sempet2 nih.
Sayang bgt melewatkan obroaln seru malam itu ya...huhuhu.
Dan aku tertarik sama informasi di paragraft terakhir.. Klo Bu Eli mau nerbitin novel lagi.
Yeaaayyy!!! Kita tunggu novel berikutnyaaaaa!
Delete