Seorang rekan aktivis dari Sumatra Barat, Chaus, menyadari
ada yang salah dengan payudara sebelah kanannya sejak SMA. Tapi selama itu dia
menganggap remeh dan abai aja. Setelah dia bekerja dan banyak bergaul dengan
kawan-kawan baru yang banyak mengangkat isu
kanker payudara pun dia tetap santai. Sampai setahun lalu dia merasa benjolan
di payudaranya semakin besar.
Akhirnya dia memeriksakan diri dan diketahui bahwa massa
benjolan di payudaranya semakin besar. Diameternya sudah sekitar 4 cm atau
sebesar telur ayam. Akhirnya dia disarankan untuk memeriksakan diri lebih
lanjut. Nah, begitu dia memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit di Padang,
dia langsung dibuat depresi oleh dokter yang menanganinya.
“Ini belum tahu kanker atau tumor. Tapi yang jelas kamu
harus dioperasi. Buat apa dipertahankan, toh udah kososng juga dalamnya,”
begitu kira-kira vonis sang dokter.
Jahat banget, ya?! Ngomongnya nggak pake tedeng aling-aling
atau pemilihan diksi yang bisa sedikit menenangkan pasiennya. Ujung-ujungnya
Uni Chaus benar-benar depresi.
Terus dia disarankan untuk berobat kepada seorang dokter
yang sudah mempelajari pengobatan herbal. Menurut cerita, ada temannya yang
kena penyakit gondok, dioperasi, terus tumbuh lagi dan akhirnya sembuh setelah
berobat ke tabib ini. Akhirnya Uni, begitu saya memanggilnya, pergi ke tabib
tersebut, lalu disarankan untuk membeli ramuan seharga dua setengah juta!!
Beruntung ramuan itu nggak ready stock, jadi Uni sempat
pulang dan mendapat second opinion dari temannya yang emang orang farmasi. Uni
kemudian disarankan untuk langsung memeriksakan diri ke RS Dharmais, Jakarta.
Maka, berangkatlah dia ke Jakarta. Menurutnya, untuk ukuran
rumah sakit sebesar itu, se-ramai, dan se-hectic itu, pelayanan di RS Dharmais
masih terbilang jauh lebih manusiawi daripada di rumah sakit yang sebelumnya
dia datangi. Dia tidak perlu pikir-pikir untuk berkonsultasi. Semuanya menjadi
gamblang karena dokternya tidak menutup-nutupi informasi yang memang menjadi
hak pasiennya. Tidak juga memberikan statement yang menohok sang pasien.
Dan yang paling menyenangkan ketika dia berada di sana
adalah bahwa dia dia dilayani oleh tiga dokter perempuan dan seorang laboran.
Setelah dilakukan biopsi, dia masih bertemu lagi dengan seorang dokter yang
berbeda untuk menjelaskan posisi dan
kondisi penyakitnya. Tumor, kalo ganas atau terbukti itu adalah kanker akan ada
tindakan tertentu yang berbeda-beda kemungkinannya. Tindakan yang akan
diberikan bergantung pada usia pasien, status perkawinan, riwayat kesehatan,
dan sebagainya. Jadi semua pasien yang dicurigai kanker tidak akan dierikan
tindakan yang sama atau langsung diputuskan harus diapakan oleh dokter.
Nah, untuk deteksi dini, ternyata ada beberapa pilihan.
Semua bergantung pada usia dan kondisi si pasiennya. Karena Uni belum menikah
dan belum berusia empat puluh tahun, maka dia disarankan untuk menempuh
pemeriksaan biopsi. Kalau sudah lebih dari empat puluh tahun disarankan untuk
dilakukan mamograph.
Selain pelayanan yang memuaskan, biaya yang dikeluarkan
untuk deteksi dini kanker pun terbilang rendah. Di Dharmais, deteksi dini kanker
biayanya Rp. 250.000, sudah ketemu tiga dokter, USG, sekaligus diberikan
edukasi tentang penyakitnya. Untuk kanker serviks, harganya sedikit lebih
mahal.
Setelah hasil USG keluar, Uni lalu ketemu dokter ahli kanker. Dokter menyarankan
untuk dilakukan tes berikutnya. Biopsi dan ... *something, saya lupa*, ada dua
kali pemeriksaan gratis. Uni memang
harus beberapa kali bolak-balik ke Jakarta, tapi memang biaya berobatnya tidak
terlalu banyak. Menurutnya, di RS Dharmais ada pelayanan yang bisa lebih
eksklusif di lantai dua. Tidak perlu perlu menunggu antrian dokter dan segala
fasilitas prima, tapi ya... ada harga ada kualitas.
Aktif
Mencari Tahu Sebagai Solusi
Cerita tentang Uni Chaus hanyalah satu dari beberapa korban
sel kanker yang ada di sekitar saya. Beruntung Uni Chaus diberikan kemampuan
untuk deteksi dini dan pandai mencari second opinion, third, dan seterusnya.
Dia tidak terpatok pada satu dokter yang menyarankan tindakan tertentu.
Ada dua orang teman ibu saya yang menderita kanker payudara.
Pada kedua orang tersebut telah dilakukan operasi pengangkatan payudara.
Seorang diantaranya akhirnya meninggal karena memang informasi tentang kanker
yang dia dapatkan hanya simpang siur. Seorang lagi sudah berkali-kali masuk
rumah sakit. RUMAH SAKIT UMUM. Entah tindakan apa yang diberikan kepadanya.
Beberapa ibu dari teman-teman saya juga mati muda karena
kanker payudara. Mereka pergi meninggalkan penyesalan dalam benak anak-anaknya
yang sebenarnya telah mampu memberikan solusi atas sakit yang mereka derita.
Anak yang bahkan tidak sempat ditemani
ibunya ketika diwisuda.
Salah satu sumber informasi tentang kanker bisa juga didapat
dari penderitanya. Mbak Indah merupakan salah satu cancer survivor yang terus
aktif berkampanye, utamanya lewat media sosial. Mbak Indah Nuria Savitri adalah
seorang blogger enerjik. Saya pernah bertemu di ajang kopdar blogger, mungkin
dia lupa, tapi sosok inspiratifnya sangat lekat di benak saya.
Di Jogja, saya
mengenal Bu Janti Wignjopranoto, dia kini telah sembuh dari kanker leher rahim dan aktif
sebagai praktisi gaya hidup sehat. Saya bahkan mengenalnya bukan lewat
komunitas pangan, tapi lewat aktivitas latihan menari tradisional. See,
informasi bisa kita dapat darimana saja. Bahkan cerita perjuangan orang lain
pun bisa jadi inspirasi untuk hidup sehat dan long life.
Keterbatasan
di Perdesaan
Padahal, kampanye tentang kanker payudara sudah ada
dimana-mana. Hanya saja baru orang-orang yang dari kalangan tertentu saja yang
bisa mengaksesnya. Misalnya kalangan terpelajar atau kalangan menengah ke atas.
Bagi masyarakat di kampung saya, kanker payudara dan juga kanker lainnya adalah
momok yang sudah jelas arahnya kemana. KEMATIAN. Belum pernah ada perempuan
penderita kanker di kampung yang mampu bertahan. Kalangan bawah seperti mereka,
memiliki keterbatasan pendidikan dan akses informasi. Jarak yang jauh dari
fasilitas kesehatan yang mumpuni juga merupakan keterbatasan masyarakat desa.
Kanker payudara memang tak hanya diderita oleh perempuan,
tapi nyatanya di sekitar saya korbannya adalah para perempuan. Katanya, makanan
merupakan faktor penyebab yang paling besar peranannya dalam menimbulkan
penyakit, termasuk kanker payudara. Bahkan Uni Chaus menjadi serius untuk
berobat karena ia tahu bahwa Sumatera Barat merupakan daerah dengan penderita
kanker tertinggi di Sumatera. Mungkin karena mereka banyak makan daging,
rendang, dan gulai, ya?!
Penduduk di kampung saya kebanyakan berprofesi sebagai
petani. Mereka tentu mengharapkan hasil panen yang baik, banyak, dan
benghasilkan uang berlimpah. Lebih sulit bagi mereka untuk menerima petuah
tentang pangan organik daripada sekedar Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Tidak heran, makanan yang tersedia di kampung berasal dari hasil panen sendiri
tapi justru residu pestisidanya yang cukup tinggi. Bertani organik lebih sulit
daripada bertani dengan pola konvensional dengan melakukan penyemprotan dan
pemupukan dengan dosis tinggi sesekali. Daripada petani harus menunggui tanamannya
setiap waktu.
Dari rumah saya, untuk menuju Puskesmas rawat inap
dibutuhkan waktu setengah jam dengan kondisi jalan sempit dan berlubang. Untuk
menuju Rumah Sakit Umum Kabupaten dibutuhkan waktu 1,5 jam dan 3-4 jam untuk
menuju Rumah Sakit Umum di Ibu Kota Provinsi. Tidak jarang memang, angka
kematian pasien di kampung kami cukup tinggi. Ibu yang akan melahirkan pun
beberapa waktu yang lalu sampai harus meninggal diperjalanan menuju Faskes di
kabupaten.
Selain jarak, permasalahan yang klasik adalah petugas
kesehatan yang kiprahnya hanya setengah-setengah. Bidan bahkan benar-benar
hanya membantu persalinan normal tanpa bisa mendampingi pasiennya sejak
persiapan kelahiran. Di Puskesmas, ibu saya pernah marah-marah karena perawat
justru meninggalkan pasien yang baru datang untuk makan siang tanpa memberikan
tindakan darurat atau setidaknya memanggil orang lain jika memang dia sudah
kelaparan. Iya, mereka kelaparan ketika ada pasien, sebelumnya enggak. Jadi,
jangankan memberikan edukasi dini, menjalankan tugasnya pun mereka (mungkin)
setengah hati.
Kampanye
Menyentuh Semua Kalangan
Desa saya mungkin baru salah satu contoh ‘mengkalnya’ pola
pikir warga. Matang enggak, mentah juga enggak. Pola pikir seperti ini lebih
sulit untuk dibentuk. Apalagi pembentukan pola hidup baru yang sadar akan pentingnya
deteksi penyakit sejak dini dari yang semula nggak aware sama sekali kalau saya
nggak ingin bilang mereka masa bodoh. Di tempat lain, mungkin nggak sedikit
juga yang kondisinya lebih parah.
Ketika pengurus negara ini sampai ke pegawai-pegawainya sudah
tidak mampu lagi diharapkan, pihak lain saya pikir bisa diandalkan. Urusan pemerentah
mungkin terlalu banyak jika harus mengurusi sesuatu yang belum tentu terjadi
apalagi yang nggak bisa jadi proyek untuk didanai negara. Seperti makin
merebaknya penderita kanker ini.
Saya mengajak kawan-kawan untuk bertindak, memberikan
pendampingan dan beramai-ramai menghimpun kekuatan untuk melakukan pencegahan
dan bantuan kepada penderita. Adapun skenario yang mungkin bisa kita bangun
antara lain;
Pertama, menggandeng komunitas dan lembaga perempuan yang
sudah ada. Mereka harus melakukan pendampingan ke wilayah terdampak paling
tinggi. Komunitas ini bisa sangat disengaja untuk di-hire untuk kampanye ini
dengan pembiayaan dari lembaga funding atau sukarela.
Kedua, Memberikan edukasi nggak hanya sekali dua kali, tapi
juga melakukan pendampingan kontinyu. Pendampingan ini bisa jadi merupakan
irisan atau gabungan dari program-program pendampingan di perdesaan lainnya.
Program keluarga harapan, CSR perusahaan, atau bahkan Kuliah Kerja Nyata.
Ketiga, memanfaatkan segala macam media. Orang kampung nggak
semuanya main media sosial. Kalaupun anak-anak mereka pengguna media sosial,
mereka adalah tipe yang gampang sekali terpengaruh hoax dan berita dengan
sumber nggak jelas. Kampanye lewat banner dan poster di beberap lokasi vital mungkin
juga oke. So, solusinya memang berkampanye lewat media audio visual yang banyak
diakses dan mampu dikontrol oleh para pihak. TELEVISI!!!
Kalau untuk nonton tayangan serius tentang diskusi kanker
payudara sih mungkin juga mereka OGAH! So, harus disisipkan edukasinya seperti
misalnya Bank BJB mengampanyekan gemar menabung sekaligus promosi lewat
tayangan Si Bolang, atau Pemerintah Bandung yang kampanye lewat Serial Preman
Pensiun. Jadi bukan kampanye lewat penderita kanker yang terus meninggal di FTV
atau bahkan yang dapat mukjizat tiba-tiba sembuh karena saling jatuh cinta sama
dokter!
Media lain yang bisa ditempuh mungkin juga bisa lewat
sekolah. Di kampung, sekolah masih dianggap sebagai hal yang ‘tinggi’. ILMU
DARI SEKOLAH SUDAH PASTI BENAR. So, guru-guru harus menyisipkan kampanye
tentang kanker ini seperti juga menyisipkan budi pekerti dan pendidikan
lingkungan. Bisa juga lewat kegiatan semacam kelas inspirasi. Pelibatan orang
tua murid juga penting, karena mereka sering nggak percaya dengan ucapan
anaknya. Bahkan meresa digurui oleh anaknya.
Jadi bukan hanya ada Jakarta Goes Pink saja, kelak harus ada
gerakan serupa yang tak hanya menyentuh penduduk perkotaan yang gaul dan update
informasi. Karena penduduk kota pun belum tentu melek informasi. So, untuk masalah ini solusinya adalah bahu membahu semua pihak. Pihak yang peduli untuk #FinishTheFight #AgainstCancer tentu saja.
Disclaimer: tulisan ini adalah murni opini saya pribadi, maaf jika ada yang kurang berkenan.
Kakakku juga survivor tapi alhamdulillah sekarang dah "bersih"
ReplyDeleteAlhamdulillah. Kanker apa tuh, Mak? Dan sembuh dg cara apa?
Deleteterima kasih sudah ikutaaan ya mbaaa...pengalaman dan ceritanya banyak juga. Memang kita harus akui, kampanye dan informasi mengenai hal ini belum banyak tersebar atau menyentuh teman-teman di luar kota-kota besar. Yang di Jakarta aja ngg selalu semua juga mau perika mba ...btw, thanks for joining my #giveaways #finishthefight #gopink #pinktober #breastcancerawareness
ReplyDeleteHallo, Mama Bo et Obi! Ayo kita kampanye lagiiiiii!!!
Delete