Jadi ceritanya beberapa minggu
lalu Mak Noni ngasih info untuk ikut (semacam) talkshow novel barunya Andrea
Hirata, AYAH. Ini udah kayak oase di
padang tandus, deh. Pasalnya saya emang lagi hectic banget pengen ujian tesis plus sehari sebelumnya dikasih tau
HB kalo di Togamas Kota Baru bakal ada book
signing “Ayah’ di tanggal 14 Juni 2015. Saya jadi super duper galau banget
karena emang udah lama puasa beli dan baca novel demi masa depan gemilang dan
kalo mau minta tanda tangan Andrea berarti kudu beli novelnya doongg yaaaa...
Alhamdulillah... Tuhan bersama
para pejuang tesis!
Terimakasih Mak Noni dan Bentang
Pustaka yang jadi My Savior di tengah kegalauan. Akhirnya saya masuk dalam list
empat blogger (bareng Mak Ika, Mbak Diba, dan Mbak Dian) yang dapet kesempatan
dikirimin bukunya dan dateng ke talkshow itu tanggal 15 Juni 2015 HARATIS!!! Maap banget deh, baru sempet
cerita sekarang sambil nungguin dosen di kampus nih. Cerita tentang novelnya menyusul, yaa :)
Tentang Talkshow “Ayah”
Acara ini disebut Obrolan
Pembaca Media Indonesia (OPMI) yang dihelat oleh Media Indonesia
bekerja sama dengan Bentang Pustaka. As usually, acaranya ternyata telat, sodara-sodara! Saya udah tergopoh-gopoh
berangkat dari kampus ke perpustakaan pusat. Dan sampe sanaaaa... taraaaaa...
Mulainya hampir jam sebelas dong, padahal jadwalnya jam sepuluh!
Akibatnya, acara jadi kayak kejar-kejaran.
Pada sesi diskusi aja saya nggak dapet kesempatan tanya. Dan it means nggak dapet hadiah. LOL.
Simak juga lagu "Hai Ayah" oleh Meda Kawu.
Sedihnya lagi, acaranya berakhir berantakan.
Sesi foto bareng aja ricuh. Apalagi sesi booksigning.
Banyak juga ternyata peserta diskusi yang alay. Jadi mereka udah kayak
ketemu artis Korea gitu. Beruntung nggak ada yang bawa light stick di acara ini. Nggak baik deh pokoknya acaranya. Kalo
dulu pas jamannya “Bulan dalam Gelas”, saya ikut talkshow di Gramedia Bandar
Lampung. Damai, tentram, dan pesertanya juga tertib. Nggak urakan. Udah gitu
panitianya langsung narik Andrea buat acara selanjutnya gitu. Ya, tadi aja
mulainya telat. Kalo nggak telat kan nggak bakalan kejar-kejaran sama waktu
gitu. Kalo saya nggak salah denger dari bisik-bisik mereka sih mau ada acara
lagi di Jogja Digital Valley.
Tentang “Ayah”
Jadi ceritanya, Ayah ini
ditulis selama enam tahun IYA ENAM TAHUN. Selama enam tahun itulah Andrea
melakukan riset untuk novelnya sekalian belajar sebagai penerima beasiswa IOWA
di Amriki. Andrea pengennya bikin buku yang punya real impact. Fiction is the new power,
katanya. Nggak Cuma buat
seneng-seneng dan norak-norakan sok ngefans-nya pembaca. Jadi dia pengen novel
ini jadi booming kayak Laskar Pelangi
yang bisa meningkatkan taraf hidup dan penghidupan orang-orang Belitung. Yang saya
tau emang kawan-kawan Bangka Belitung sampe sekarang masih berjuang untuk
membebaskan provinsi baru itu dari deraan kebergantungan terhadap tambang timah
yang banyak dampak buruknya. Nah, gara-gara Laskar Pelangi ini, sektor
pariwisata di Bangka Belitung, khususnya Belitung jadi banyak dikunjungi dan pendapatan
daerahnya meningkat drastis. Andrea ternyata bisa mulai mengubah ‘takdir’
orang-orang kampungnya yang punya mental sebagai penambang.
“Fiction is the new power” –
Andrea Hirata.
Novel Ayah berkisah tentang sosok
Amiru yang menurut pengakuan Andrea adalah curhatan temannya. Jadi,
meski berangkat dari kisah nyata, novel-novel Andrea selalu dibumbui dengan
imajinasi. Dan selain menyisipkan pesan pada novelnya, Andrea juga ingin
membuat pembacanya bahagia.
“Bacalah, dan hidup anda akan
lebih bahagia!” - Andrea Hirata
Andrea sudah memikirkan itu
sejak awal dia punya niat untuk menulis. Gimana dia membubuhkan ‘nilai’ pada line demi line, memberikan meaning
behind meaning. Dan dalam novelnya yang kesembilan ini Andrea menyiratkan responsibility beings a parents. Tentang
respect, lover, responsibility, being
happy of small thing, passion, percaya pada diri, hargai diri sendiri, dan how to menikmati masa-masa pahit. Novel
Ayah bisa ngasih impact bagi
keluarga. Bagaimana menjadi anggota keluarga yang baik, dan nggak cuma nuntut agar
orang jadi ayah yang baik.
Di buku ini ada banyak banget
endorsement. Saya sendiri sih emang
merasa terganggu ya dengan banyaknya foto cover
buku-buku Andrea yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan testimoni
orang-orang hebat. Enough lah yaaa...
kita semua tahu bahwa karya-karya itu mendunia dan males banget sebenernya baca
testinya. Cuma Andrea punya alasan yang cukup kuat terkait ini. Masalah
endorsement terkait masalah ekonomi. Pihak penulis punya banyak kontrak dengan
para pihak, dan mereka yang membuat peraturan itu. Tentunya pihak penulis cuma
bisa sendhiko dawuh.
Tentang Creative Non Fiction
Ketika tulisan-tulisan Andrea
disebut karya sastra post modernism
oleh salah satu peserta, Andrea justru lebih senang menyebut karyanya sebagai creative non fiction. Andrea sudah yakin
dan menjiwai genre-nya ini.
Menurutnya, seorang penulis harus men-define
siapa dia. Yang pertama harus dipastikan adalah, apakah kita penulis fiksi atau
non fiksi? Kalau fiksi, novelis, puisi, atau cerpenis, novel surelis? Story teller? Atau religi? Andrea sendiri
bangga menyebut dirinya seorang story
teller.
Dalam ilmu sastra, semua
orang bisa berlaku seperti komentator sepak bola. Semua dengan mudahnya ngasih
komentar dari berbagai perspekstif. Karakteristik karya post modernism biasanya menceritakan tentang waktu secara runtut. Dan
Ayah nggak begitu. Isi tulisan Andrea lebih kompleks. Andrea sendiri baru
belajar sastra ketika berada di IOWA. Dia belajar tentang page turner. Gimana pembaca nggak sabar pengen segera membuka
halaman berikutnya.
Dalam “Ayah”, ada tokoh-tokoh
yang mirip tokoh pada Laskar Pelangi. Dari sinilah Andrea mendapatkan
penerimaan yang tinggi dari pembacanya. Andrea menceritakan kisah semua orang,
sehingga orang merasa bahwa itu kisahnya. Kalau saya pikir, ini berbeda dengan
triknya Ika Natassa. Ika menjadikan pembacanya sahabat bagi tokoh-tokoh dalam
novelnya. Jadi pembaca seperti melihat sendiri dan menyimak curhatan
sahabatnya. Nah, kalo Andrea mirip dengan Dee Lestari. Mereka bisa bikin pembacanya
itu memutuskan: Ikal ini gue banget loh! ; Si Zakiah Nurmala ini mirip gue! Dan
gue akan menyimak kisahnya sampe tuntas. Penulis story teller sendiri menurut Andrea kuat dalam menggambarkan time and place.
Andrea berpesan bahwa menjadi
orang yang baik lebih penting dari pada menjadi penulis yang baik. Antara lain
jangan jual buku bajakan! Salah satu peserta diskusi mengaku sebagai penjual
buku bajakan dan dia bangga. Andrea sendiri sudah empat kali ditawari oleh
penjual buku keliling bukunya yang dibajak. Mulai semua dengan baik, maka
hasilnya akan baik.
Sang Editor |
Andrea juga nggak menampik peran
besar seorang editor. Dalam acara takshow ini Andrea membawa serta seorang Imam,
editornya. Karena kerja keras editornya juga “Ayah” bisa terjual sebanyak
15.000 eksemplar dalam dua jam saja dan dalam minggu ketiga setelah
peluncurannya, “Ayah” akan dicetak untuk
keempat kalinya. Menurut Imam, Indonesia mempunyai penulis-penulis berkualitas.
Oleh karena itu Indonesia bisa jadi guest
of honour di Frankrut Book Fair. Tapi mirisnya, minat baca orang-orang
Indonesia empat belas kali lebih kecil daripada Jerman.
Maka Andrea merasa perlu memfilmkan
karyanya. Alasannya, 70 juta orang di Indonesia lebih senang informasi audio visual daripada
baca baku. Mereka gemar nonton film. Untuk orang-orang yang di kampung, mereka bisa
nonton tayangan filmnya di tivi yang emang udah diputar ribuan kali. Dengan begini, impact-nya semakin meluas dan menjangkau semua kalangan.
Wah... pemred aku nampang di situ. :)))
ReplyDeleteohohohoho... daku juga nampang di situ :p
Deleteandrea hirata emang favorit banget ya hehe
ReplyDeleteIya banget, Mak. dari jaman saya masih 4l4y dulu (eh, emang sekarang udah nggak alay gitu?)
Deletembak Rinda salam kenal, suka deh sama tulisannya
ReplyDeleteHallo, Mbak. Terimakasih , ya sudah mampir. Follow-follow-an yuk!
Deletekereeeen...sayang bgt g bisa nonton acara na hiksss
ReplyDeleteIya Bu, Dok. Beliau kan selalu menebarkan inspirasi dan motivasi :D
Deleteyour article is this very helpful thanks for sharing...:)
ReplyDelete