Judul
Buku : “Titik Temu” Antologi
Puisi Komunitas kampoeng Jerami
Editor : Yuli Nugrahani
Penyusun
Naskah : Umirah Ramata, Fendi Kachonk,
Cici Mulia Sary
Desain
& Layout : Devin Nodestyo
Gambar
& Ilustrasi : Dana E. Rachmat
Terbit : Cetakan Pertama,
Desember 2014
Ukuran : 15 x 23 cm
Isi
: 220 + xv
hlmn
ISBN : 978-602-702277-4-4
Penerbit : Komunitas Kampoeng Jerami
“Kehidupan ini seimbang,
Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila.
Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit” (Pramoedya Ananta
Toer, Anak Semua Bangsa.
Sinopsis
Kesendirian
tak lagi mengurung, kala kau mengundangku untuk
menikmati
taman literasimu. Taburan aksara dan lantunan indah puisi,
dengan
corak yang bergam. Bisik kidung cinta selayaknya kepak sayap
kupukupu,
menyentuh lembut hatiku. Lenggok gemulai seirama
nadanada
pemancingan emosi manusiawi. Selaras dengan eloknya warna
diksi
yang menghias dinding-dinding Kampoeng Jerami
bayumenghembus
segar di atas hamparan padi ‘sang pemuisi alam
raya’
dari yang serupa recup hingga yang tunduk menguning.
Sementara
sebagian sisi pematang beraromakan bunga rumput,
Penginspirasi
kumbang untuk berpujangga, dan menghisap madu yang
tersimpan.
Ah ...nutrisi-nutrisi manis pembakar semangat untuk tumbuh kembang generasi si
kumbang kelana
:
Aku, kau dan mereka di titik temu.
Taipei, 19/10/2014
(Cerita
Kampung Kita, Bunda Umy)
Setelah sukses menerbitkan buku
Hujan pada Juli 2014, Titik Temu juga kemudian lahir dari rahim Kampoeng Jerami.
Lewat Titik Temu, mereka ingin menyebarkan nilai-nilai penghormatan pada Hak
Asasi Manusia (HAM). Buku ini merupakan kumpulan puisi sebagai aksi nyata
komunitas ini untuk mengampanyekan HAM melalui dunia sastra. Titik Temu diluncurkan bertepatan dengan 10
Des 2014 pada Hari HAM se-Dunia. Tidak tanggung-tanggung, buku ini berisi 163
puisi dari 60 penyair nusantara. Penyair Nasional sekelas Acep Zam Zam Noor, Korrie
Layun Rampan dan penulis ternama lainnya juga ikut andil membuat buku ini nyata.
Perbedaan usia, profesi, agama, etnis, hingga pemikiran penulis lebur dalam
satu titik kemanusiaan.
Suara Hak Asasi
Sebagaimana
diungkapkan oleh Siti Noor Laila pada sambutannya dalam buku ini, bahwa
Indonesia masih menyimpan banyak persoalan HAM. Namun Komisioner Komnas HAM itu
juga mengatakan bahwa pasca orde baru ada beberapa kemajuan dan penghayatan
HAM. Buku ini lahir sebagai pendekatan melalui budaya, nilai-nilai anti
kekerasan dan ‘dialog hati’ kemunikasi antar sesama anak bangsa.
Menurut
saya, buku ini tak hanya sebentuk ‘dialog hati’ para pujangga berotak
melankolis. Lebih dari itu, buku ini adalah cerminan, bentuk dzikir sekaligus
alarm bahwa persoalan HAM di sekitar kita tak semudah itu dilupakan begitu
saja. Melaui karya Acep Zamzam Noor yang menjadi pembuka, Titik Temu langsung
membawa pembaca kembali ke era 1983. Bahkan saya bisa meraba situasi yang
tergambar lewat puisi itu meski jauh sebelum saya lahir. Ada apa di 1983?
Entahlah, saya belum menemukan rujukan rekaman peristiwa.
“Tak ada kue, tak ada
bunga-bunga. Tak kusampaikan salam
Pada dunia. Hanya desing
peluru, dentum meriam
Bersahutan dalam
dadaku...” (Hal. 1)
Apa yang
pembaca tahu tentang kebebasan beragama, pejuang HAM yang dikriminalkan dan
persoalan-persoalan HAM yang tak jua usai?
Negara kerap
kali absen dalam penyelesaian urusan warganya terkait HAM. Buruh Migrant yang
tewas di negeri orang baik disengaja maupun terencana hanyalah salah satunya.
Di dalam negeri saja, rakyat sudah terlalu pusing dengan dagelan yang entah
siapa harus dibela dan siapa yang sebenarnya membela. Tak ada lagi musuh, tak
ada lagi kawan. Semua bisa berubah dalam sekejap mata saja. Di Indonesia.
Ketika
negara memilih untuk tutup mata, sementara wakil rakyat hanya mengumpulkan
pundi-pundi harta pribadi saja, rakyat hanya diperlukan dalam Pemilu saja apa
gunanya ada Indonesia?
Kemudian
Titik Temu mengangkat kisah tentang Munir (hal. 190), yang hilang ditelan bumi
seperti Wiji Tukul. Seolah peristiwa ini hanya terpatri dalam bentuk puisi dan
rakyat hanya jadi penonton atas beragam fenomena. Setidaknya, melalui puisi
inilah upaya para penyair menghentikan pembungkaman rekaman sejarah.
Ingatan
pembaca lalu dibawa oleh seorang Korrie Layun Rampan untuk mengingat seorang
Mohammad Hatta yang nyatanya juga bermakna meski tanpa Soekarno (Hal. 79-81).
Korrie juga berbicara tentang perjuangan seorang Nelson Mandela (Hal. 86-89)
dengan membawa serta nama-nama semacam Abraham Lincoln, martin Luther King,
gandhi, hingga Hamka. Puisi ini juga bergerak untuk sebuah perubahan, bukan?
Bukan hanya
catatan Korrie saja yang menyiratkan getirnya fenomena sosial di Negara yang
Bhineka ini. Para penyairnya memainkan analogi dan diksi yang unik. Terkadang lucu
dan satire. Coba tengok Puisi Alra Ramadhan, Sejarah (hal 19-20).
“…Joker
menembakan benang-benang pintalan awan. Menacap ke leher Raja Pertama yang
mendamaikan. Menancap ke leher-leher hulubalang. Menancap ke kuda Raja, kuda
hulubalang, hingga pedang, hingga dentang, hingga lenggang.
Mereka memboneka: kartu-kartu kecil yang digerakkan agar saling bunuh sebelum
para petinggi muncul seolah penyelamat.”
Apakah para penulis puisi ini sudah bertindak sebagi
cenayang yang memperkirakan kejadian-kejadian? Saya pikir mereka adalah
orang-orang jujur yang mengungkapkan realitas dan perasaan. Sejarah bukan
sekedar yang ada di buku pelajaran. Cerita dongeng yang membingungkan karena
berbeda dari buku-buku kaum pergerakan. Pergantian kekuasaan berarti
masalah-masalah kemanusiaanyang ramai ketika itu dapat semudah itu terlupakan.
“Titik
Temu” adalah salah satu perwujudan “Menolak Lupa” yang masih mungkin dibaca
oleh anak-cucu kita. Perihal pengulangan sejarah, atau pembiaran dan upaya
untuk menghapus masa lalu akan terjadi di kemudian hari atau tidak, yang jelas “Titik
Temu” telah merekam sebagian kecil persoalan.
Penutup
Maka Titik
Temu bukan sekedar dialog hati para penyairnya. Ini merupakan curahan pemikiran
dan aksi mengetikkan puisi dengan membawa serta perasaan paling palung, tangan
yang mengepal, dan tatapan mata yang lurus tajam. Titik Temu bukan hanya
tentang hati, tentang perasaan, dia berbicara tentang sejarah, fakta yang
terbungkam, juga kemanusiaan. Memori yang mungkin hanya lekat di benak para
pelakunya saja. Ingatan tentang kekerasan, ketidakadilan, pembiaran, dan Titik
Temu ini adalah suara dari kemanusiaan.
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<