:Dear
Mbah Putri
Ini
adalah malam ke-dua ratus dua puluh satu
tanpamu lagi. Harusnya aku sudah bisa move on dan hanya mendoakanmu di sana bahagia bersama Mbah Kakung,
Nenek, Mbah Bandar, dan yang lainnya. Aku justru semakin kehilangan dan sangat
butuh kehadiran Mbah Putri dalam keseharianku. Terlebih karena berbagai urusan
yang membuatku lelah fisik dan pikiran.
Ingatkah
dulu, Mbah Putri akan dengan senang hati mendengarkan curhatku, meski mungkin
Mbah Putri tidak paham dengan duniaku dan apa-apa yang kuceritakan. Tapi
menatapku serius mendengarkan kisahku dengan sesekali meluncurkan nasehat maut andalan
sudah cukup melegakanku. Apalagi jika ditambah pijatan lembut di kakiku. Ah, aku
rindu sambutan hangat dibalik pintu menjelang dini hari. Sambil
terkantuk-kantuk, Mbah Putri masih sempat menawariku makan. Padahal Mbah Putri
tahu, yang kuinginkan hanya bantal dan selimut tebal.
Memang
dulu aku sering sebal karena Mbah selalu mengomentari seabreg aktivitasku, bajuku, kamar yang berantakan, makanan yang
tidak habis, aku sebal dengan semua itu. Tapi bukan berarti aku tidak sayang.
Kini aku merindukan semuanya, termasuk saat-saat aku kesal padamu. Maafkan aku,
ya, Mbah. Maafkan cucumu yang cantik, manja, dan cerdas luar biasa ini.
Mbah,
bagaimana rasanya menahan sakit yang tak berkesudahan selama berbulan-bulan?
Bagaimana bisa Mbah sampai berucap, "Aku sebenarnya ya sudah ikhlas kalau
mau 'diambil' sekarang, tapi kok Rinda lagi ujian di Jogja sana....”
Tahukah, Mbah,
perasaanku tak menentu menerima semua kabar itu. Cepat-cepat aku menyusun
rencana untuk melanjutkan penelitian di Lampung. Di sana aku bisa mengobati
aneka macam sakit hati yang kupendam sendiri di perantauan. Pulang kampung
adalah ide terbaik untuk memberikan jawaban kenapa berat badanku susut hingga
sepuluh kilogram.
Seminggu
lamanya aku tidur bersama Mbah Putri yang napasnya tersengal-sengal. Badanmu tipis
seperti menempel dengan kasur. Kulitmu keriput tanpa daging. Wajahmu kuyu meski
selalu berusaha tersenyum, tapi Mbah masih mampu berjalan kala itu. Ke kamar
mandi sendirian kemudian beristirahat sejenak dan duduk di kursi mengatur
napas. Sesekali memperhatikan dan mengomentari aku yang sedang mencuci baju.
Atau mengomentariku yang berangkat ke laboratorium pukul setengah tujuh pagi
dan kembali pukul setengah tujuh malam. Masih seperti dulu, hanya bedanya aku tidak lagi pulang pukul sembilan malam, bahkan
pukul dua pagi karena turun lapang.
Mbah Putri
tidak mampu lagi membuatkanku segelas susu dan sarapan. Juga menyiapkan air
hangat untuk mandi ketika aku pulang larut. Ada Bude yang menggantikan. Mbah
Putri juga tidak lagi menungguku pulang, matamu terpejam kapanpun kau mau. Meski
ragamu tidak sepenuhnya tidur, matamu sering kupergoki tengah terpejam.
Menjelang
dini hari waktu itu, tepat seminggu setelah kepulanganku dari Jogja, Mbah putri benar-benar menungguku, ya,
ternyata. Aku capek, Mbah, malam itu. Seperti dulu waktu aku masih kuliah S1
hingga aku bekerja, semuanya diladeni olehmu. Kala itu aku selesai berkencan
dengan laptop nyaris jam sepuluh malam. Kupikir Mbah Putri sudah tidur. Tapi
ketika aku berbaring di sampingmu, memunggungimu dan lebih memilih memeluk
gulingku, Mbah malah masih sempat menyelimutiku.
Perlahan
aku pun terlelap diiringi suara napasmu yang tersengal-sengal. Terdengar
menyakitkan, hingga aku berusaha untuk tak mendengarnya karena toh aku tak
mampu melakukan apapun untuk membantumu melegakan napas. Tidak lama kemudian,
tangan ringkihmu menarik tanganku kuat-kuat.
Napasmu memburu hingga dadamu bergerak tak beraturan. Tangan dan kaki kirimu bergeming
sementara kaki kanan terus menghentak. Apalagi yang kubisa selain menangis dan
berteriak? Aku tidak ingin Mbah Putri pergi sebelum menyaksikanku belajar
memasak di keesokan paginya.
Pagi hari
semua anak, menantu, dan cucumu berkumpul, mendoakan, menangis. Sementara organ
badan sebelah kirimu lunglai seperti tak bertulang dan tak mampu digerakkan.
Mulutmu juga tak bisa lagi berucap. Wajahmu pucat pasi. Ketika itulah tangisku
pecah lagi. Bukan karena aku sadar hidupmu takkan lama lagi. Tapi aku tidak
ingin Mbah Putri mengalami penderitaan. Hidup sehat lagi seperti tak mungkin,
meninggal pun tidak. Bukankah masa lalu Mbah Putri telah sarat dengan derita
meski tanpa mengeluh kepada kami? Aku tidak rela jika menjelang ajal, Mbah
masih harus berjuang sekeras itu. Aku merasakan sakitmu hingga kini, Mbah.
Masih lekat
dalam benakku, dua hari berikutnya, Mbah Putri divonis koma. Sehari kemudian
selang oksigen dicabut dari hidung karena sudah tidak dapat direspon lagi oleh
tubuh rentamu. Selama itu pula aku tidak pergi ke laboratorium. Dan di hari
berikutnya aku baru pergi karena mengkhawatirkan keadaan sampel penelitianku.
Aku pun diizinkan pergi oleh Ibu yang selalu ada di sampingmu tanpa pernah
berpaling. Ibu, bidadariku, juga satu-satunya putrimu mengajarkanku salah satu
bentuk bakti kepada malaikatnya, kepada Mbah Putri yang teramat kami sayangi.
Aku sedang
menangani delapan puluh satu sampel di atas meja, dan berita duka itu pun
datang pada waktu yang tidak kuduga sebelumnya. Lagi-lagi aku marah kepada Mbah
Putri, kenapa harus pergi ketika aku tidak berada di rumah? Kenapa pergi ketika
sampelku menanti untuk dianalisis. Ketika Ibu dan Widi sudah tiga hari tidak
pergi ke sekolah. Ketika Bapak sudah ada di sana sejak sehari yang lalu, tanpa
Ratri yang sedang menghadapi ujian di sekolahnya. Tanpa Adi yang sedang
mempersiapkan proposal untuk skripsi dan memperjuangkan kuliahnya meski
nilainya sangat payah.
Aku berusaha
meraba semua perih tapi aku tidak menangis. Aku juga tidak meraung. Aku dengan
santai mengambil motor di parkiran dan menjemput Adi di kampusnya. Kami tidak
menangis, tapi hati kami tersayat. Ketika itu aku berpikir aku tidak perlu lagi
terburu-buru, karena Mbah Putri sudah pergi. Mbah tidak mau menunggu kami. Mbah
Putri sudah tidak mungkin lagi mendengar keluhku. Aku juga tidak mampu mencegah
malaikat maut yang merenggutmu dari kami. Kami hanya bisa berpasrah, berdoa,
dan fokus pada lalu lintas jalan raya yang semakin semrawut.
Mbah Putri
dulu sangat cerewet dengan gayaku mengendarai sepeda motor. Tidak bisa pelan
dan tidak kenal rem, katamu. Tapi aku masih akrab dengan Tuhan, setidaknya
Tuhan masih akan selalu melindungiku. Tak usah mencemaskanku lagi dari surga
sana, ya, Mbah. Mbah Putri hanya perlu menghemat energi karena tak perlu lagi
menguliahiku tentang aturan lalu lintas setiap pagi. Juga tak perlu lagi
merapal doa hingga aku pulang meski sudah lewat jam sembilan malam. Jangan
kuatir lagi soal itu.
Di
sini, Mbah, di perantauan, setiap pagi aku merindukanmu memperhatikanku yang
tergesa-gesa memburu waktu. Ketika aku bangun pagi dalam keadaan segar, aku
merasa Mbah Putri memijit kakiku semalaman. Kemudian sembari menyiapkan
sarapan, jutaan nasehat masuk ke dalam kuping kiri dan hanya dalam hitungan
detik keluar lagi melalui kuping kananku. Kadang aku menghibur diri,
berpura-pura Mbah Putri sedang pergi ke warung untuk membeli sayuran yang akan
dimasak siang nanti.
Kemudian
aku sadar bahwa aku harus pergi sendiri ke warung makan untuk membeli sarapan
pagi. Tidak ada telur dadar ataupun segelas susu tersaji di mejaku. Tanpa sadar
aku mulai tertegun di sudut kamar. Aku terkadang
lupa atau berusaha menepis fakta bahwa sudah lama sekali Mbah Putri tak ada.
Malaikat
rentaku, bila orang mengartikan tangisan sebagai ekspresi rasa cinta, mereka
tidaklah salah. Demikianlah adanya, meski juga tidak selamanya. Dalam
pandanganku, terkadang sebaliknya, cinta tak harus menangis. Mbah Putri,
Mbah Kakung, Nenek, Mbah Bandar, dan semuanya yang sudah damai di sisi Tuhan tidak
membutuhkan tangisan kami, ratapan kami. Yang kalian harapkan adalah
keikhlasan, keridhaan serta doa-doa dari kami. Tegurlah aku bila aku salah,
Mbah. Cereweti aku seperti biasa, seperti dulu kala.
Ada banyak
hal yang kupikir masih dapat kulakukan untuk menunjukkan rasa cinta kepadamu,
kepada kalian yang telah pergi. Menerima takdir ini dengan penuh keikhlasan,
keridhaan dan mendoakan kalian di setiap kesempatan. Menyelesaikan kewajiban
serta menjaga dan menjalankan amanah yang kalian tinggalkan. Aku hanya tak rela
jika ungkapan cinta, tangisan dan ratapan justru membebani langkah-langkah
kalian menuju bahagia yang tak lagi fana.
Mbah Putri
yang teramat kusayangi, kadang kata-kata lebih tajam
daripada pedang. Menyakiti sampai ke relung hati paling dalam. Dan sulit sekali
untuk disembuhkan. Entah
Mbah Putri mendengarku atau tidak ketika dalam keadaan koma, hingga saat ini
aku meminta maaf atas segala kebandelan dan kebebalan yang telah kulakukan. Sadar atau tidak, aku pasti sering sekali
melukaimu.
Maafkan
aku yang sering kali kasar, tanpa pernah berpikir ulang kalau memberi komentar
atas nasehatmu, atau ketika aku membuat Mbah Putri tidak nyaman. Maafkan aku
yang arogan, yang menyebalkan, yang sering sekali dengan sengaja membuat Mbah
Putri yang kesabarannya lapang melebihi sahara jadi kesal. Juga maafkan aku
yang selama tinggal denganmu dan jauh dari Bapak Ibu memenuhi masa tuamu dengan
kisah-kisah menyedihkan. Membuat Mbah Putri kebingungan sampai tak jarang
hipertensimu kambuh.
Mbah,
dalam dekapan angin Bulan September, di sela-sela rima doa, aku rapalkan juga
curhatan seperti dulu kala. Agar kelak kisah kita menjadi saksi betapa aku
pernah menjadi cucu yang paling berbahagia di dunia.
Malam ini, dua
ratus dua puluh satu hari kepergian Mbah Putri, ada rindu yang terselip, ada
doa yang terus mengalir. Ketika seluruh keluarga telah berkumpul untuk berdoa
bersama-sama di hari keempat puluh, aku malah tengah kisruh dalam pelatihan di sebuah
hotel berbintang. Ketika mereka berdoa untukmu di hari keseratus, aku tengah
berjuang untuk seminar tesisku di perantauan. Mbah, kelak aku segera pulang ke
kampung halaman. Mengunjungi pusaramu tanpa tangis duka lara, karena aku yakin
Mbah Putri tenang berada di istana yang telah kau cicil sejak di dunia. Bersanding
dengan Mbah Kakung sambil bercerita tentang romantisme kalian di masa muda. Di
sana, di sisi Tuhan yang begitu menyayangimu jua tempatku kelak berpulang.
Pulang ke sisi Tuhan adalah pilihan terbaik, karena dunia hanyalah tempat untuk
patah hati.
Mbahku yang
berambut perak, kalau kacau bahasaku
menceritakan riak hatiku, aku harap Mbah Putri maklum. Hari ini aku sampai kembali kepada titik
paling palung, ketika kesedihan senantiasa membelah diri tanpa henti. Aku
tenggelam di dalam tangisku sendiri. Tunggu aku
pulang, ya, Mbah. Sambut aku di depan pintu seperti dulu. Tunggu aku dengan
beragam kisah petualanganku.
Love and hugs,
Cucumu yang
cantik, manja, dan cerdas tiada tara.
Foto: nulisbuku.com |
Diterbitkan oleh: Nulisbuku
dalam antologi Surat untuk Penghuni Surga Buku Satu
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<