Kita terbiasa terjebak dan
mendambakan happy ending dalam setiap cerita, termasuk dalam kehidupan nyata.
Sayangnya, kita tidak hidup dalam layar FTV, sinetron, teenlit, atau
semacamnya. Situasi-situasi klimaks terkadang memaksa kita untuk bertahan tanpa
bisa menekan tombol ‘cut’, ‘pause’, bahkan ‘rewind’...
Untaian
kata di atas adalah penggalan dari tulisan Daun-daun Hitam: Suara Bagi yang Terinjak, yang Terlupa. Tulisan yang me-review
buku antologi cerpen besutan Yuli Nugrahani dan sketsa Dana E. Rachmat. Energi
untuk memuat review ini di blog sebenarnya
tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan saya telah menulisnya sejak September
lalu, tak lama setelah buku ini terbit dan pada akhirnya saya Kopdar dan
bercakap-cakap dengan penulisnya.
Kala
itu, pertemuan singkat saya dengan Mbak Yuli, penulis cerpen dalam buku antologi
itu, sangat memotivasi saya. Memotivasi saya untuk segera menyelesaikan studi,
memanfaatkan waktu yang tersisa di perantauan, dan segera pulang untuk
mengabdi. Itu menjadi semacam moodbooster
bagi saya untuk menulis, dan meyakinkan diri bahwa untuk terus berbagi saya
harus menulis dan meninggalkan jejak.
Langkah
pertama yang saya rencanakan saat itu adalah saya akan menulis beberapa review, sinopsis, atau semacamnya. Selain
saya diuntungkan dengan semakin banyaknya bahan bacaan yang harus saya
tandaskan, tentunya saya bisa mendapatkan penghasilan. Money oriented adalah hal yang wajar bagi seorang mahasiswa tingkat
akhir yang beasiswanya telah dicabut sementara kuliah belum selesai. Saya harus
memutar otak bagaimana saya harus bertahan dengan tetap memberi keuntungan dan
kemudahan.
Menulis
adalah passion, dan sastra menjadi
candu buat saya. Terutama untuk menulis feature
dan liputan, saya sedikitnya terbekali pengalaman ‘sesaat menjadi jurnalis’.
Maka koran adalah target saya. Setidaknya dalam sebulan, saya harus
menghasilkan tulisan. Uang mungkin hanya dampak, tapi kepuasan adalah tujuan
utama.
Saya
lantas membaca ulang buku antologi tersebut. Saya menemukan ketertarikan pada
isu yang diangkat oleh penulisnya. Konflik lahan dan karut marut politik
merupakan santapan sehari-hari ketika saya berkegiatan di LSM lingkungan hidup
dulu. Saya seperti menemukan jiwa di dalam cerpen-cerpen Mbak Yuli dan beberapa
sketsa Pak Dana. Saya menulis dengan ‘hati’, dengan harapan tulisan saya akan
dibaca banyak orang. Dengan demikian manfaat dari buku tersebut akan semakin
nyata. Saya sangat bersemangat.
Tulisan
sebanyak lima halaman tersebut saya kirimkan terlebih dahulu kepada Mbak Yuli.
Katanya, tulisan saya terlalu panjang, saya hanya harus mengambil sampel
satu-dua cerpen saja untuk diulas. Selain itu kerterkaitan kalimat
antarparagraf juga belum saya dapatkan. Akhirnya saya melakukan killing-my-darling, memotong beberapa
bagian dan tulisan tersebut tersisa tiga halaman. Saya pun mengirimkannya ke
salah satu koran di Jawa Barat, di sana sering muncul tulisan kawan-kawan yang
tak terlalu berat.
Saya
menunggu kabar gembira dimuatnya tulisan itu. Tapi penantian saya sia-sia. Saya
urung mengirimkan tulisan itu kepada harian di Yogyakarta. Review buku mereka terlalu biasa. Nampak seperti iklan marketing saja.
Saya akhirnya memasangnya
di blog, dengan harapan masih ada yang membaca dan memberikan input saran kepada saya. Hasilnya: Nihil. Mungkin buku
yang saya ulas kurang menarik. Bahkan tulisan saya tak tampak sebagai review. Saya memang harus belajar lagi. Saya harusnya tak mudah sakit hati. Saya tidak akan berhenti. Adakah yang
bersedia menjadi guru pribadi untuk kasus ini?
Sebuah refleksi yang menarik sekali..
ReplyDeleteMenurut saya, tulisan di blog yang sedikit dikunjungi, bukan semata karena konten tulisannya yang tidak menarik. Tapi, lebih kepada persoalan teknis, semisal rajinnya kita berpromosi di media sosial ataupun berinteraksi dengan sesama blogger melalui blogwalking.. CMIIW :)
Terimakasih saran dan kunjungannya :)
DeleteIya BW memang sarana untuk 'menggaet massa', sebenarnya saya sering BW, tapi jarang bisa meninggalkan jejak. Saya melakukan BW tidak di PC, tapi di kala santai menggunakan ponsel saya yang belum cukup pintar... hehe... #kodeagardibelikanponselbaru
oke, next time saya akan lebih sering silaturahmi :D
tetap semangat, dan harus memiliki keberanian :)
ReplyDeleteAwwww... terimakasih kompornya, Mbak santi :)
Deletetetap semangat, mbak. pasti suatu saat ada hasilnya
ReplyDeletePastinya, Mas!!! SEMANGAT!!!
DeleteNgereview dan menuliskannya di blog memang membutuhkan effort tersendiri. Tentu dirimu sudah mengerahkan segenap perhatian untuk itu, Rinda. Ayo bikin lagi yaaaa.. jangan lupa promo di medsos dan rajin berkunjung ke blog2 yg lain.
ReplyDeleteYesss, Mak! Itu yang Rinda review memang bukan buku keluaran penerbit beken, tapi di sisi lain isi bukunya 'bernilai' dan Rinda ingin menyebarkan itu sebenarnya, karena mungkin tidak gampang orang mendapatkan bukunya. Hihihiii.... Thanks, ya, Mak :)
DeleteMenuliskan sebuah review buku,
ReplyDeleteapalagi kalau di goodreads atau blog pribadi, syaratnya cuma satu mbak : Bikin orang yang baca kepo pada kalimat pertama atau bikin judul yang memikat, menghentak, membuat orang bertanya-tanya
Berhubung anda sudah belajar, sebenernya ini cuman sekilas info ahahaay.. sukses yaa!
Okayyyy... tengkyuuu, Mak. I'll Never stop trying :)
Deleteserunya ngeblog tuh karena kita bisa banyak belajar...jadi semangat dan pantang mundur, termasuk untuk menuliskan review :)...tuuh, banyak ahlinya mba...bisa banyak belajar dari teman-teman :)..aku juga ikutan belajaar :)
ReplyDeleteYeayyyy, Mbak Indah. Beruntung juga bisa banyak baca tulisan kawan2 yang lain. Semoga segera bisa punya akses internet super cepat dan gadget yang mumpuni biar bisa meninggalkan jejak setiap BW dan bisa gampang diskusi :) terimakasih Mbak Indah
DeleteSaya datang dan sudah membaca "Self Reflection" di blog ini
ReplyDeleteTerima kasih telah berkenan untuk ikut lomba saya ya
Semoga sukses
Salam saya
#2
terimakasih kembali, Om. Aamiin... :)
Deletesemangat, ya. saya juga lagi belajar menulis review *malah curcol. salam kenal :D
ReplyDeleteHeuheu... Mari sama-sama belajar!!! \m/
Delete