Oleh
Rinda Gusvita
Judul Buku : Daun-daun Hitam
Penulis Cerpen : Yuli Nugrahani
Pembuat Sketsa : Dana E. Rachmat
ISBN : 978-602-1534-35-9
Penerbit : Indepth Publishing dan
Caritas Tanjung Karang
Korektor : Yulizar Fadli
Desain cover :
Devin Nodestyo
Layout isi : M. Reza
Tanggal Terbit :
Cetakan Pertama, Agustus 2014
Tebal : 90 halaman + x
Dimensi : 14 x 21 cm
Daun-daun
hitam hanyalah onggokan sampah sisa pembakaran. Kadang dimain-mainkan angin,
diinjak orang yang lalu lalang, kemudian hilang begitu saja dari ingatan. Tanpa
kesan.
Yuli Nugrahani
menyatukan hal yang sangat sederhana itu dalam 12 cerpen dan 12 sketsa hasil
kolaborasinya dengan Dana E. Rachmat. Apakah sketsa-sketsa itu merupakan
penggambaran cerpen dalam bentuk nyata? Mungkin saja iya. Mungkin juga tidak.
Melalui kumpulan cerpen
dan sketsa Daun-daun Hitam pembaca diajak untuk menghormati dan mengabadikan
kesejatian manusia dengan keragaman cara pandang, budaya, etnis, dan keyakinan.
Buku ini juga menyadarkan pembaca akan hal-hal sepele yang mungkin tak akan
pernah dilirik sebelumnya.
Daun-daun sudah terbakar sebagian. Api mengubah
daun-daun menjadi hitam jelaga dengan gurat-gurat daun yang masih tersisa.
Pikiranku menghablur pada kenangan lereng Betung, Istriku ingin ke sana. Bapak
pun ingin kembali ke sana. "Aku mau dikuburkan di kampungku sendiri."
Kata-katanya jelas diucapkan beberapa kali saat sakit mulai menderanya dulu.
"Lebih baik jika aku pulang sebelum mati, sehingga kau tak perlu mengusung
kerandaku. Biar aku jalan sendiri dan pulang."
Bapak, ya, sepertinya kita harus pulang.
Aku
meninggalkan daun-daun hitam yang teronggok mengepulkan asap. Gerimis akan
memadamkan baranya, biar saja. Aku mencuci tangan dan segera menuju kamar
bapak. Batuknya terdengar terus menerus, parau dan sakit. (Daun-daun Hitam, hal. 1-6).
Tokoh
“bapak” dalam cerpen “Daun-daun Hitam” seperti menguak konflik batin dan mewakili
kondisi masyarakat yang sudah lama tinggal di Gunung Betung sebelum kawasan
tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan raya. Ketika itu rakyat dipaksa untuk
meninggalkan tempat tinggal dan lahan garapannya. Proses pengosongan yang tidak
lepas dari konflik, dan tentunya tidak lepas dari benak mereka.
Walaupun
penuh kenangan pahit, kampung halaman selalu mempunyai magnet untuk menarik
kita pulang. Sejatinya konflik batin yang pernah tercipta justru memperkuat
“bapak” untuk bercita-cita tutup usia di sana. Setidaknya di sana ada
ketentraman bersama pepohonan, beruk, air terjun, serangga, dan sebagainya.
Masih
bercerita tentang sengketa, cerpen “Belum Kalah” (hal. 42-47) menguak konflik
penguasaan tanah seperti yang kerap terjadi di beberapa wilayah di negeri ini.
Konflik kepemilikan tanah ini hanyalah sebagaian kecil dari akibat bobroknya
tata hukum agraria di Indonesia. Tanah juga memiliki makna dari sisi ekonomi,
sosial, politik, maupun budaya. Maka itu semua mendorong manusia untuk berusaha
menguasai, ataupun sekedar mengambil manfaatnya.
Sikin tua yang keras kepala dalam cerita itu bersikukuh
mempertahankan tanah yang sudah secara turun-temurun dikelola oleh keluarganya.
Sikin tetap tidak mau menerima uang ganti rugi. Berbeda dengan warga lainnya
yang kemudian ingin ikut-ikutan berjuang untuk membebaskan tanahnya dari tangan
Sang Kepala Desa, namun sudah mengantongi uang jutaan rupiah sebagai pengganti
tanah mereka.
Selain
itu, Yuli juga mengetengahkan nasib seorang “Mak Unti” (hal. 49-57) yang jadi
bulan-bulanan strategi kampanye politik di kotanya. Padahal ia hanya butuh
tempat yang layak untuk buang hajat, hingga menjadi santapan empuk politikus di
sana untuk meraup simpati warganya. Sang politikus pun hanya ingin menyediakan
fasilitas MCK untuk orang-orang seperti Mak Unti. Tim suksesnya terus mencari
Mak Unti untuk mendapatkan fotonya sebelum masa kampanye tiba. Sampai-sampai mereka
juga memperkarakan hilangnya Mak Unti sebagai dugaan bentuk sabotase dari pihak lawan.
Seolah
tahu betul bagaimana rasanya menjadi politikus, Yuli kemudian menyajikan
fenomena selepas ajang perebutan ‘kursi panas’. Dalam cerpen “Pasien”, Yuli memaparkan
kondisi psikologis seorang “Adel” (hal. 8-13). “Adel” yang berjuang
menghilangkan pikiran kalah menang, desakan pimpinan, tumpukan amplop, rapat,
bendera partai, rencana politis, penghitungan suara, dan juga Dandri.
Aktivitasnya dalam dunia politik justru menjadi pemicu perpisahannya
dengan Dandri. Pilihan yang justru menghadirkan mimpi-mimpi buruk dalam
kehidupan Adel selanjutnya hingga ia merasa harus menjadi seorang “pasien”.
Hal
yang nyaris serupa juga diceritakan Yuli dalam cerpen “Penghakiman” (hal.
29-34). Cerpen ini menceritakan seorang presiden yang tengah menjadi pesakitan
di meja hijau dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Siksaan
mimpi buruk yang dialami seorang presiden nampak begitu nyata.
Cerpen-cerpen
Yuli mengungkap harapan masyarakat ketika ada pergantian pemimpin suatu daerah
atau negara. Salah satunya adalah adanya perubahan skema pemerintah dalam
mengelola lingkungan dan sumber daya alam. Misalnya persoalan tata kelola lahan
yang menyisakan derita hingga usia senja dalam “Daun-daun Hitam” dan “Belum
Kalah”. Di beberapa wilayah, konflik ini muncul akibat kebijakan justru tidak
mampu mengakomodir kepentingan masyarakat.
Cerpen-cerpen
berikutnya menjadi semacam peringatan kepada pemerintah, dan juga siapapun yang
percaya adanya hari pembalasan. Ini menjadi tuntutan agar setiap pemimpin segera
menuntaskan janji-janji politisnya terkait keadilan pengelolaan sumber daya
alam. Mereka harus melunasi janji kepada rakyat, atau rela dihantui mimpi-mimpi
buruk tentang pengadilan setelah kematian, bahkan sebelum kematian itu datang.
Hakim membalik buku itu mundur,
agak ke depan, di halaman depan, lalu melanjukan bicara. “Kau tak punya hati.
Dalam catatan ini, hatimu itu senantiasa kau tutup telinganya dengan kucauan
aturan. Lama-lama hatimu kering, dan akhirnya hilang, tak tersisa. Kini tak ada
waktu lagi. Seluruh buku ini sudah mencatatnya. Aku akan membacakan putusan
terakhir.” (Penghakiman, hal. 33).
Sementara
itu, dalam sketsanya Dana E. Rachmat menyajikan lukisan kedekatan antara
manusia dengan alam sekitarnya. Misalnya dalam sketsa “Pak Lik Wagimin” yang
berdiri di Puncak Betung dengan tongkat yang menopangnya. Sketsa ini terkesan
memperkuat cerpen “Daun-daun Hitam” dengan tokoh “Bapak” dengan kerinduan
terhadap kampung halamannya. Demikian juga pada sketsa “Pohon Mati yang
Berkaki” yang mengajak pembaca berimajinasi pergi ke lokasi Pantai Pasir Putih,
Kiluan yang amat eksotis.
Yuli
Nugrahani menghadirkan cerita yang ‘menggantung’dalam ke-duabelas cerpennya.
Demikian juga Dana E. Rachmat yang membiarkan pembaca menduga-duga. Pembaca
hanya harus menikmati, mendedah amarah dan emosi, kemudian membuka kembali
ruang-ruang rasa yang sebelumnya mungkin telah mengeras.
Kita
terbiasa terjebak dan mendambakan happy
ending dalam setiap cerita, termasuk dalam kehidupan nyata. Sayangnya, kita
tidak hidup dalam layar FTV, sinetron, teenlit,
atau semacamnya. Situasi-situasi klimaks terkadang memaksa kita untuk
bertahan tanpa bisa menekan tombol ‘cut’,
‘pause’, bahkan ‘rewind’. Pun ketika pesta pemakaman kita telah usai, kehidupan ini
justru hanya akan terasa seperti persinggahan. Yuli dan Dana mengajarkan kita
untuk berpikir dan merenung serta keluar dari kungkungan ‘happy ending’. Akhir dari kisah dalam cerpen maupun sketsa di buku
ini tidak bisa dengan gampang diterjemahkan, atau ditebak apakah semua berakhir
dengan bahagia (atau menderita?).
Buku
antologi dengan kaver hijau dan kombinasi hitam dalam tulisannya ini terlihat
begitu sederhana. Daun-daun hitam yang dibentuk ibarat penggambaran terbangnya
ruh seorang manusia dari raga. Ruh manusia dalam bentuk daun-daun hitam yang
tak berharga, yang bernilai sampah, yang berwarna jelaga. Lalu apa yang bisa
kita banggakan dalam kehidupan kita sebagai manusia tanpa kepekaan tiada tara?
Selamat membaca.
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<