Tiba-tiba hujan mempertontonkan
kontemplasi album lalu bersamamu. Mengirimkan senandung yang kerap kau
sanjungkan melalui wangi debu yang tersapu rintik dari langit. Pada rintik yang
jatuh satu-satu, ada senyum yang selalu kau untai dalam setiap sapa. Desir
angin yang membelai lembut wajahku,menampilkan larik-larik puisimu. Kemudian
aku menggigil dan menyerah pada hujan yang serta merta datang serombongan.
“Kita berpisah bukan karena panasnya
matahari,”katamu disenja itu.“Bukan pula lantaran badai yang datang
menghadang,” aku menyimakmu dengan sepenuh hatiku.“Tapi yakinlah, jarak akan
mengumpulkan rinduku yang kelak akan meluap dan membuncahkannya padamu suatu
saat nanti,” Aku tercekat, aku anggap itu sebuah janji.
Bukan janji yang pertama tentunya. Tapi
janji yang nyaris selalu kau ucapkan seiring bergantinya jingga menjadi pekat
malam. Tak perlu berharap terlalu dalam, hiburku pada sebongkah daging penuh
racun dalam rongga perutku.
Pada
jarak dan waktu yang memisahkan kita terpahat ceritera. Ada deret kata-kata
yang terukir menyulam syair yang menjadi tabir. Pada jarak dan waktu yang
memisahkan kita terlukis cahaya yang menyiratkan warna-warna. Seumpama senja
pada kaki langit yang merona. Dimana selalu kau tambatkan seutas senyum yang
memberikan nyawa baru pada dermagaku.
Kini
ku hilang dalam kelam. Juga rintik hujan yang selalu menjadi penghalang untuk
kita menikmati pesona langit malam. Padahal sesekali kaupun menjelma menjadi
pelangi. Selepas hujan seperti sore tadi. Meski tiada kau sadari.
Masih
tertancap lekat dalam benak. Bagaimana kau merangkai malam-malamku tanpa ada
penat atas rutinitasku seharian. Seolah kau datang dan mengusap peluh. Kemudian
menyapaku dengan senyuman. Mengganti lara menjadi ceria. Lantas kau seduhkan
untukku secangkir cappuccino. Kita menikmatinya berdua. Sembari menikmati
langit malam. Menyunggingkan senyuman pada godaan bintang-bintang.
“Usah
kau anggap kerlingan benda-benda dilangit sana,” katamu tiba-tiba sembari
menggamit tanganku,”dia tidak lebih memberi arti padaku dibanding dirimu.
Kaulah bintang pada kelamnya hidupku,” aku tersipu, namun sayangnya tidak
tergoda. Sudah terlalu biasa kau ucapkan hal sewarna.
Terkadang
aku menganggapmu seperti hantu. Kau datang tiba-tiba tanpa perlu kupanggil.
Lalu duduk bersamaku, bercerita tentang kisah kita sehari ini. Lalu kita saling
menasehati. Kita saling berpendapat. Terkadang terselip kecewa yang tersirat.
Namun selalu dapat tertutupi pada bahagia yang tercipta karena hadirmu.
“Terimakasih
untuk apa, sayang?” tanyaku saat kau tiba-tiba berterimaksih padaku. “Untuk apa
berterimakasih padaku yang tak mampu menemanimu melawan ganasnya mentari siang
tadi?!”kataku sendu.
“Thank’s for being my inspiration.”
Katamu dengan seutas senyum yang guratnya tak pernah kulupa.
Dilain
waktu, kau datang membawa semangat pada hampaku. Dengan tergopoh-gopoh kau
menyambangiku. Lagi-lagi kau berikan senyum pada baris syair sarat rindu. Kau
menjelma menjadi pahlawanku. Dan lagi-lagi kita menghabiskan waktu pada istana
fiksi yang kita bangun sendiri. Ditemani irama lagu senada suasana hati, kita
nikmati malam meski tanpa pendar cahaya rembulan.
“Seandainya
kau tak membisu, tentu dengan mudah aku meraihmu,” katamu pada suatu penghujung
malam bersama tetesan embun.
“Lupakan.
Kisah kita hanya ilusi,”kataku seraya mengusap air mata yang berderai tak
terkira.
Seketika
aku melangkah pergi. Dibawah derasnya hujan dan kilatan petir aku mempercepat
langkahku. Dalam duka aku memuja keindahan dunia. Sementara lukaku mengukir
karya sejati. Hingga tiada seorang pun kan tahu, bahwa aku kecewa pada kisah
yang membawa perih. Bahkan aku telah menyerah pada luka yang tak akan pernah
kering. Pada kerasnya kehancuran yang tak sanggup kujalani sendiri. Aku patah.
Aku mati. Meski aku sudah terbiasa dengan duka.
Pun
saat ini, aku pasrah pada musikalisasi hujan dan malam yang membuka
lembar-lembar kenangan singkat bersamamu. Ya, singkat, namun teramat dalam
kurasa. Satu yang kuyakini adalah bahwa kau akan datang dan memenuhi semua
ucapanmu. Tanpa kuda berpelana emas. Tanpa sayap-sayapmu yang telah patah.
Tanpa wujud ksatria yang selalu kau tampakkan padaku. Bukan deretan lagu-lagu
penuh sanjung dan puja serta rindu. Bukan pula setumpuk syair tanpa makna. Hanya
dirimu yang sesungguhnya yang ‘kan menjadikan segalanya menjadi sempurna.
Kalianda,
March, 4th 2012 10:26 PM
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<